Basuh
kaki. Sebuah cara sederhana. Tetapi menjadi tidak lazim dan sederhana ketika
Sang Guru melakoni tindakan yang mestinya dilakukan oleh seorang bawahan. Sang
Guru menitipkan pesan tunggal penuh makna, haruslah kamu saling melayani.
Memang, melayani membutuhkan sebuah pengorbanan diri. Sang Guru harus rela
menanggalkan Ke-Allahan-Nya agar disanggupkan untuk berendah hati. Karena
melayani pula, Sang Guru harus menabrak umum, membasuh kaki para murid. Mengapa
mesti kaki dan bukan tangan para murid yang dibasuh? Kaki menjadi penyangga
anggota tubuh dan karenanya setiap saat harus berpihak di tanah. Kalau
bersentuhan dengan tanah berarti ada kotoran berupa debu yang melekat karena
itu Sang Guru memilih kaki para murid untuk dibasuh. Sang Guru yang bertindak
sebagai pembasuh juga harus tunduk ke bawah agar peristiwa pembasuhan kaki bisa
terlaksana. Sebuah tindakan yang benar-benar membutuhkan pengorbanan dan
pelayanan menjadi lebih bermakna.
Peristiwa
ini merupakan peristiwa anamnesis, pengenangan kembali akan apa yang telah
dilakukan oleh Yesus. Setiap kamis putih, Gereja mengungkap dan mengenang
kembali peristiwa penuh makna itu serta melihat sosok Sang Guru sebagai
pengajar cinta dengan cara sederhana, berbuat pada para murid-Nya. Membasuh
kaki tidak dilihat sebagai tindakan simbolik yang mubasir tetapi peristiwa
pembasuhan kaki menjadi pengenangan kembali dan terus dihidupkan dalam diri
setiap orang yang menjadi pengikut-Nya, untuk melayani orang lain tanpa perlu
menerima imbalan.
Cinta
tulus Sang Guru adalah cinta yang melampaui
“ego-diri” karena hanya dengan keluar dari diri, sebuah cinta bisa
menemukan maknanya. Cinta yang hanya
menetap dalam diri setiap manusia adalah
cinta diri yang masih kabur maknanya tetapi cinta yang diajarkan oleh Sang Guru
adalah cinta yang berkorban, cinta yang melampaui benteng keakuanku. Karena itu “onggokan batu” keakuanku mesti dipecahkan
agar bisa keluar menemui aku-ku yang lain. Cinta Kristus adalah cintah tulus
tanpa rekayasa.
Paus
Fransiskus pada momentum pembasuhan kaki, selalu menampilkan sisi lain dari
peristiwa pembasuhan itu dengan menghadirkan orang-orang yang tersisihkan
diciumi kakinya. Pada peristiwa pembasuhan tahun ini, Paus Fransiskus membasuh
kaki migran muslim. Tindakan Paus Fransiskus ini mencerminkan kerahaiman Allah yang nyata. Allah yang diimani adalah Allah yang
hadir dalam diri orang-orang yang tersingkirkan terutama kaum migran. Apa yang dilakukan oleh Paus Fransiskus ini
melampaui kelaziman. Ia tidak melihat pelaku rasul yang akan diciumi kakinya
adalah laki-laki tetapi juga perempuan. Bahkan orang yang beragama lain pun
dibasuh kakinya agar orang tahu bahwa Allah yang diimani adalah orang yang
meretas batas ruang agama, suku dan ras.(Valery Kopong)
0 Komentar