Di tengah perkembangan arus komunikasi digital yang kian pesat, ternyata menimbulkan
komunikasi personal yang kian rapuh. Komunikasi antarpersonal dalam keluarga
menjadi bagian penting dalam membangun image
tentang figur, baik sebagai ibu ataupun sebagai ayah. Intensitas pertemuan dan
dialog yang bersahabat antara anak-anak dan orang tuanya, perlahan tapi pasti
akan membentuk figur-figur orang tua dalam diri anak-anak. Pada ujungnya,
seorang anak akan menilai secara jernih, seperti apakah figur bapak dan ibu di
matanya?
Menjadi ayah Katolik dan orang tua secara umum, perlu menampilkan diri sebagai figur ayah yang
selalu memahami dunia anak-anak dan dalam pola pembentukan karakter itu,
menghindari tindakan-tindakan represif terhadap anak-anak karena
tindakan-tindakan tersebut sangat mengganggu perkembangan psikis seorang anak.
Perilaku-perilaku seorang ayah yang cenderung represif menjadi bentukan image yang sangat kuat dalam diri
seorang anak. Anak menjadi begitu dekat apabila diperlakukan secara baik oleh
orang tuanya sendiri. Sebaliknya, apabila orang tua berlaku kasar terhadap
anaknya maka besar kemungkinan, ditemukan renggangnya relasi antara orang tua dengan anak, bahkan
seorang anak memunculkan rasa benci yang berkepanjangan terhadap figur seorang
ayah.
Ayah menjadi tipe “algoju” di mata seorang anak karena perlakuan
terhadapnya melampaui batas-batas kemanusiaan. Seperti apa, figur seorang ayah
Katolik? Apakah setiap orang Katolik belajar tentang cinta kasih sehingga tidak pernah melakukan tindakan kekerasan
terutama terhadap anaknya sendiri? Kenyataan berbicara lain. Sita, seperti yang dilukiskan dalam buku ini,
menampilkan sosok anak perempuan yang benci terhadap bapaknya sendiri. Sita
selalu merasa tidak aman ketika ayahnya berada di rumah setelah pulang bekerja.
Sosok ayah dan perlakuan seperti ini menjadi momok yang menakutkan dalam
keluarga. Sita tumbuh sebagai seorang perempuan yang baik, namun selalu
berpikir negatif terhadap figur seorang ayah. Baginya, perlakuan yang keras
dari ayah terhadapnya, membuatnya selalu curiga dan terbentuk opini bahwa
setiap laki-laki yang berada di luar keluarganya juga berperilaku demikian.
Sita, dalam kondisi jiwa yang kecewa selalu membawa permasalahan ini
dalam doa-doanya. Doa yang paling digemari adalah doa rosario. Dengan
memanjatkan doa-doa rosario, Sita terarah untuk mendekatkan diri dengan figur
ibu yang ada dalam diri Bunda Maria. Sita, tidak mau mendaraskan doa “Bapa Kami” karena terdapat kata Bapa yang ada
dalam doa itu. Figur ayah yang menakutkan dalam keluarga, juga menghantarnya
untuk tidak bisa memahami figur Allah sebagai Bapa yang baik. Melalui buku ini,
membuka wawasan, baik bapak maupun ibu,
untuk piawai dalam menjalani fungsinya sebagai orang tua yang
mengarahkan anak untuk memahami figur Allah sebagai Bapa yang baik.***(Valery Kopong)
0 Komentar