Beberapa waktu lalu, ketua-ketua seksi pendidikan dari masing-masing paroki di wilayah Dekenat 1 Tangerang, mengadakan pertemuan bersama di Gereja Santa Helena – Paroki Curug. Pertemuan yang dihadiri oleh ketua seksi Pendidikan KAJ, Romo Charles Javlean, lebih memberikan kesempatan bagi masing-masing peserta untuk membahas tentang konsep pelatihan kepemimpinan sebagai upaya untuk menyiapkan generasi muda Gereja untuk terlibat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Pelaksanaan kaderisasi selama ini, kelompok-kelompok yang disasar adalah anak-anak yang saat ini mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah negeri.
Dari diskusi yang menarik dari seorang pegiat pendidikan di KAJ, terlontarlah sebuah pertanyaan penting. Siapa yang sebenarnya memiliki kewenangan mengurus anak-anak Persink? (komunitas anak-anak yang sekolah di negeri dan mendapatkan pembelajaran di gereja) Pertanyaan ini menjadi menarik karena terkesan bahwa anak-anak ini merupakan bagian dari korban di sekolah-sekolah negeri yang tidak menyediakan guru agama non muslim.
Jika
yang dilihat adalah persoalan ketidaksediaan guru agama maka hal ini
memunculkan pertanyaan baru. Sudah siapkah umat Katolik menyiapkan guru Agama
Katolik yang akan disebarkan ke sekolah-sekolah negeri? Pertanyaan ini menjadi
krusial karena anak-anak Katolik sepertinya kehilangan minat untuk belajar di
perguruan tinggi terkait ilmu pastoral.
Melihat kondisi riil yang terjadi saat ini, membuka mata kita untuk tetap memandang secara positif proses persiapan anak-anak di lingkup Gereja paroki masing-masing. Para pengajar yang selama ini menangani anak-anak Persink adalah mereka yang memiliki kepedulian terhadap anak-anak dan tidak memiliki latar belakang pendidikan dalam bidang keagamaan.
Semangat melayani merupakan spirit yang terus dibangun oleh orang-orang yang terpanggil untuk melayani. Melayani anak-anak Persink merupakan sebuah kewajiban untuk mempersiapkan anak-anak Persink agar, selain mendapatkan materi tetapi lebih dari itu memiliki pengetahuan iman agar bisa bertahan dari terpaan tantangan yang ada di lingkungan sosial yang dihadapi. Anak-anak yang saat ini bersekolah di sekolah-sekolah negeri, menjadi sebuah tantangan tersendiri namun di balik itu, ada hikmah yang harus didapatkan, yakni mereka bisa hidup membaur dengan orang lain yang berbeda suku, ras dan agama.
Dengan
berada di tempat yang majemuk itu, anak-anak sesungguhnya memperlihatkan esensi
dasar kekristenan, yaitu menjadi garam dan terang dunia. Perumpamaan tentang garam
dan terang dunia, memperlihatkan gerak keluar untuk membaur, memberi rasa pada
mereka yang dijumpai. Seperti garam yang tetap memposisikan diri sebagai
minoritas dalam memberikan rasa pada sayuran, demikian juga kita, sebagai
kelompok minoritas, memberi rasa dengan porsi yang minor.***(Valery Kopong)
0 Komentar