Unordered List

6/recent/ticker-posts

Tanpa Dinding

 

(Mencari Format Pembelajaran Berwawasan Lingkungan)

https://sekolah.data.kemdikbud.go.id/

KETIKA melihat beberapa bangunan ‘sekolah contoh’ yang hanya menggunakan atap dan tiang penyangga tanpa dilengkapi dinding, seperti sekolah Mangunan dan sebuah sekolah yang didirikan oleh Cak Nur, kesan yang muncul adalah adanya keterbukaan sistem pendidikan di mana pada tahun-tahun yang lampau dunia pendidikan menghidupkan sistem “guru sentris”, perlahan beralih ke pencarian kompetensi siswa sebagai basis penentu jalannya kegiatan pembelajaran. Bangunan sekolah tanpa dinding pembatas, memberikan suatu isyarat adanya kebebasan guru untuk menentukan lingkungan luar sebagai pendukung dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran dengan berbasis kompetensi, para siswa digiatkan untuk menggali pengetahuan luar untuk memperkaya diri sekaligus juga mengupayakan suatu pembuktian kebenaran secara ilmiah dari apa yang dipelajari di kelas dengan fakta yang terbentang di lingkungan sekitarnya. Bentangan alam yang melingkupi bangunan sekolah tak bertembok itu menunjukkan sebuah keterbukaan dan penyapaan yang ramah dari para siswa terhadap alam. Lingkungan alam tidak hanya dijadikan sebagai pelengkap tetapi juga sebagai bagian yang integral bahkan bisa dijadikan fasilitas untuk mendukung proses pembelajaran.

            Pendidikan yang berwawasan lingkungan merangkum dimensi kehidupan yang luas. Dalam taraf ini dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak diartikan secara sempit yakni pentransferan ilmu dari “gudang pemikiran guru” ke “lumbung penampungan siswa”. Dalam penerapan kurikulum merdeka belajar, perlahan-lahan siswa diaktifkan sebagai pemeran utama dalam proses pembelajaran. Sebagai pemeran utama, dia tidak berlaku pasif tetapi lebih proaktif untuk menggugah dan mempertanyakan sesuatu berkaitan dengan ilmu yang dipelajari. Tetapi di sini tetap menjadi persoalan utama yang perlu dihadapi adalah bagaimana memberdayakan siswa untuk melibat-aktifkan mereka dalam pembelajaran. Kendala yang dihadapi ini barangkali dipengaruhi oleh terbiasanya guru yang menerapkan sistem ceramah dalam pembelajaran yang hanya didominasi  oleh guru.

 

Pembelajaran: sebuah ziarah panjang

            Untuk membiasakan siswa agar terlibat aktif dalam pembelajaran, perlu adanya desain kelas yang tepat sebagai upaya untuk mendekatkan jarak-keakraban antara siswa dan guru. Kalau pada kurikulum sebelumnya seorang guru yang mengajar dengan menempatkan diri di atas mimbar kelas yang dilihat sebagai “simbol keangkuhan intelektual,” mestinya beralih yakni dari “bukit mimbar keangkuhan” ke “lembah penyapaan” yang ramah agar siswa merasa dilibatkan bahkan dijadikan sebagai salah satu sumber belajar. Dengan penataan tempat duduk yang baru secara melingkar selain mengakrabkan guru dengan siswa tetapi juga sebagai cara terbaik menghilangkan keengganan siswa dalam bertanya.  Karena hanya dengan bertanya yang datangnya dari siswa  sebenarnya mereka sendiri sudah menghidupkan ilmu pengetahuan.    

            Selain penataan tempat duduk di kelas, dalam proses pembelajaran, para siswa dapat belajar di luar kelas. Cara belajar ini tidak hanya menghilangkan kejenuhan tetapi juga untuk memperkenalkan mereka dengan lingkungan. Dalam mengadakan pembelajaran mestinya guru yang bersangkutan mematokan diri pada lingkungan sebagai tempat untuk pembuktian akan kebenaran ilmu pengetahuan. Misalnya, dalam pelajaran biologi, salah satu bagian yang berbicara tentang lumut maka guru yang bersangkutan setelah memberikan pengarahan secara teoretis harus membawa siswa untuk keluar dari kelas dan mencari lumut seperti yang dikisahkan dalam buku panduan. Atau contoh lain yang berkaitan dengan masalah sosial seperti kemiskinan, para siswa bisa didorong untuk mengenal orang-orang miskin dan kemiskinan yang tengah mereka alami. Dengan mengenal dan memahami kondisi lingkungan kumuh yang umumnya dihuni oleh orang-orang miskin, dapat menggugah nurani mereka untuk bertanya, mengapa mereka menjadi miskin atau sengaja dimiskinkan.    

            Dengan menunjukkan lumut dan masalah kemiskinan pada anak secara nyata, secara tidak langsung sudah membangkitkan gairah kesadaran anak untuk melihat lebih jauh sebab munculnya lumut dan masalah kemiskinan. Dengan memperlihatkan hal sederhana ini sebenarnya di dalam diri anak perlahan-lahan tertanam keingintahuan yang mendalam akan sesuatu. Cara belajar seperti ini sebenarnya sudah dimulai oleh salah satu aliran dalam filsafat yaitu konstruktivisme. Para penganut aliran ini melihat alam semesta sebagai satu kesatuan histories (gestalt), dinamis dan inovatif. Dengan aktivitas manusia, dunia dihumanisasi sebagai habitatnya. Dalam kesatuan ini dunia berkembang sejalan dengan perkembangan manusia sebagai subjek histories. Aliran ini lebih jauh melihat ekologi, sosiologi dan antropologi saling membutuhkan atau meminjam kosa kata dari Martin Heidegger, “ada dalam dunia terbentuk bersama dengan ada bersama..”  Ini menjadi alasan, mengapa untuk manusia masa kini, skema-skema pemikiran tentang kosmos yang bertumpuh pada proses seperti dikemukakan oleh Bergson, Whitehead dan J. Dewey mendapat sorotan dan perhatian serta diterima sebagai pengganti metafisika-metafisika klasik yang bertumpuh pada bentuk-bentuk murni / ide-ide yang tidak berubah. Skema pemikiran yang bertumpuh pada proses lebih menjawabi mentalitas ilmiah dibandingkan dengan skema pemikiran metafisis. Skema pemikiran yang membutuhkan suatu proses bertumpuh pada prinsip tunggal yakni  segala sesuatu dapat dimodifikasi.  

            Pendidikan sebagai bagian yang sentral  dalam kehidupan manusia modern mestinya mendapat perhatian lebih, secara khusus mencari format pendidikan yang tepat untuk  meningkatkan mutu pendidikan. Perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia adalah contoh bahwa dalam pergantian itu sendiri, pemerintah dan tentunya masyarakat pengguna jasa pendidikan merasa jauh dari kekurangan dalam proses belajar-mengajar sehingga output yang dihasilkan belum terlalu menjawabi kebutuhan publik. Berhadapan dengan fakta ini maka usaha untuk memodifikasi metode pembelajaran yang tertata melalui kurikulum berbasis kompetensi merupakan suatu tuntutan yang mendesak.  Dikatakan mendesak karena sudah sekian tahun, mutu pendidikan Indonesia belum bersaing dengan negara lain dan karenanya untuk dapat mensejajarkan diri dengan negara lain  dalam pelbagai aspek hanya melalui jalur pendidikan.

            Dengan adanya pendidikan dan penerapan metode yang tepat di mana para siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran dan pemberdayaan berpikir secara mandiri, suatu ketika mereka dapat menampilkan diri sebagai agen-agen ilmuwan yang handal dan mampu bersaing dengan negara lain yang telah maju. Kalau melihat dan mengikuti perkembangan dunia pendidikan dari negara yang maju, suatu hal yang menonjol adalah keterbukaan dunia pendidikan dengan lingkungan sekitar yang mendukung terciptanya suatu suasana intelektual yang kondusif. Sejak dini, para siswa sudah dilibat-aktifkan oleh pengajar untuk menekuni ilmu yang tertuang dalam buku dan tidak menutup mata terhadap lingkungan sekitar, tempat mereka mencari ilham dan mengasah kesadaran mereka.

            Bagi para siswa di negara yang berkembang, ruang kelas yang sumpek tidak lebih merupakan arena latihan untuk membangun skema-skema pemikiran yang logis yang bertolak dari teori yang ada atau penciptaan teori baru. Sedangkan realitas lingkungan adalah tempat di mana mereka mencari dan menagih bukti tentang kebenaran. Kebenaran bagi mereka merupakan rentangan garis persinggungan antara apa yang dikemas dan dipelajari sebagai teori baku dan pembuktian teori di alam bebas. Karena itu kebenaran bukan merupakan sesuatu yang “mengambang”, jauh dari penggalian oleh pikiran manusia, melainkan ia ( kebenaran ) itu adalah suatu yang terpendam dan menunggu untuk digali  dengan  daya pikir dan daya juang manusia yang berintelek.      

             

Mencari format pembelajaran baru

            Format pembelajaran yang baik seperti yang didengung-kan oleh kurikulum 2004 ini adalah memberdayakan para siswa untuk memahami ilmu pengetahuan dengan lebih efektif. Untuk memahami secara benar akan ilmu pengetahuan maka para siswa melibatkan diri secara penuh dan dituntun untuk melihat dunia sekitar sebagai perangkat pendukung pembelajaran.

            Keberhasilan dalam dunia pendidikan secara umum tentu melibatkan seluruh komponen yang berperan langsung maupun tidak langsung dalam mendukung proses pembelajaran. Dalam kaitan dengan pembelajaran secara terbuka dengan mengkonsumsi alam sekitar, bagi konstruktivisme,  bagian-bagian urgen yang mendukung suatu sistem   dalam satu keseluruhan saling berinterakasi demi kepentingan keseluruhan itu dan menerima arti dari keseluruhan itu. Dunia berkembang bersama dengan manusia. Dan manusia yang hidup  telah membentuk sejarah panjang untuk menyingkapkan suatu makna global dan imanen. Dan dalam perkembangan itu nilai-nilai terus berubah dan dialihkan dari generasi ke generasi. Dalam perspektif historisisme, keseluruhan sebagai realitas selalu berkembang tanpa batas. Manusia tidak lagi melihat diri sebagai forma substansial yang tetap sama melainkan sebagai forma histories yang terus menerus berproses. Segala sesuatu berubah termasuk pemikiran dan norma-norma moral. Norma-norma moral berubah bukan hanya dalam penerapan prinsip melainkan dalam isi prinsip. Berpihak pada pandangan ini dapat dikatakan bahwa penerapan kurikulum baru masih berada pada suatu proses yang panjang dan dalam perjalanan selanjutnya ketika melihat perubahan yang mendasar dalam sistem pendidikan itu, kadang  kita berhenti sejenak  bertanya, mengapa selalu ada perubahan?*** (Valery Kopong)

Posting Komentar

0 Komentar