(Mencari Format Pembelajaran Berwawasan Lingkungan)
https://sekolah.data.kemdikbud.go.id/ |
KETIKA melihat
beberapa bangunan ‘sekolah contoh’ yang hanya menggunakan atap dan tiang
penyangga tanpa dilengkapi dinding, seperti sekolah Mangunan dan sebuah sekolah
yang didirikan oleh Cak Nur, kesan yang muncul adalah adanya keterbukaan sistem
pendidikan di mana pada tahun-tahun yang lampau dunia pendidikan menghidupkan
sistem “guru sentris”, perlahan beralih ke pencarian kompetensi siswa sebagai
basis penentu jalannya kegiatan pembelajaran. Bangunan sekolah tanpa dinding
pembatas, memberikan suatu isyarat adanya kebebasan guru untuk menentukan
lingkungan luar sebagai pendukung dalam proses pembelajaran. Dalam proses
pembelajaran dengan berbasis kompetensi, para siswa digiatkan untuk menggali
pengetahuan luar untuk memperkaya diri sekaligus juga mengupayakan suatu
pembuktian kebenaran secara ilmiah dari apa yang dipelajari di kelas dengan
fakta yang terbentang di lingkungan sekitarnya. Bentangan alam yang melingkupi
bangunan sekolah tak bertembok itu menunjukkan sebuah keterbukaan dan penyapaan
yang ramah dari para siswa terhadap alam. Lingkungan alam tidak hanya dijadikan
sebagai pelengkap tetapi juga sebagai bagian yang integral bahkan bisa dijadikan
fasilitas untuk mendukung proses pembelajaran.
Pendidikan yang berwawasan
lingkungan merangkum dimensi kehidupan yang luas. Dalam taraf ini dapat
dikatakan bahwa pendidikan tidak diartikan secara sempit yakni pentransferan
ilmu dari “gudang pemikiran guru” ke “lumbung penampungan siswa”. Dalam
penerapan kurikulum merdeka belajar, perlahan-lahan siswa diaktifkan sebagai
pemeran utama dalam proses pembelajaran. Sebagai pemeran utama, dia tidak
berlaku pasif tetapi lebih proaktif untuk menggugah dan mempertanyakan sesuatu
berkaitan dengan ilmu yang dipelajari. Tetapi di sini tetap menjadi persoalan
utama yang perlu dihadapi adalah bagaimana memberdayakan siswa untuk
melibat-aktifkan mereka dalam pembelajaran. Kendala yang dihadapi ini
barangkali dipengaruhi oleh terbiasanya guru yang menerapkan sistem ceramah
dalam pembelajaran yang hanya didominasi
oleh guru.
Pembelajaran: sebuah ziarah panjang
Untuk membiasakan siswa agar
terlibat aktif dalam pembelajaran, perlu adanya desain kelas yang tepat sebagai
upaya untuk mendekatkan jarak-keakraban antara siswa dan guru. Kalau pada
kurikulum sebelumnya seorang guru yang mengajar dengan menempatkan diri di atas
mimbar kelas yang dilihat sebagai “simbol keangkuhan intelektual,” mestinya
beralih yakni dari “bukit mimbar keangkuhan” ke “lembah penyapaan” yang ramah
agar siswa merasa dilibatkan bahkan dijadikan sebagai salah satu sumber
belajar. Dengan penataan tempat duduk yang baru secara melingkar selain
mengakrabkan guru dengan siswa tetapi juga sebagai cara terbaik menghilangkan
keengganan siswa dalam bertanya. Karena
hanya dengan bertanya yang datangnya dari siswa
sebenarnya mereka sendiri sudah menghidupkan ilmu pengetahuan.
Selain penataan tempat duduk di
kelas, dalam proses pembelajaran, para siswa dapat belajar di luar kelas. Cara
belajar ini tidak hanya menghilangkan kejenuhan tetapi juga untuk memperkenalkan
mereka dengan lingkungan. Dalam mengadakan pembelajaran mestinya guru yang
bersangkutan mematokan diri pada lingkungan sebagai tempat untuk pembuktian
akan kebenaran ilmu pengetahuan. Misalnya, dalam pelajaran biologi, salah satu
bagian yang berbicara tentang lumut maka guru yang bersangkutan setelah
memberikan pengarahan secara teoretis harus membawa siswa untuk keluar dari
kelas dan mencari lumut seperti yang dikisahkan dalam buku panduan. Atau contoh
lain yang berkaitan dengan masalah sosial seperti kemiskinan, para siswa bisa
didorong untuk mengenal orang-orang miskin dan kemiskinan yang tengah mereka
alami. Dengan mengenal dan memahami kondisi lingkungan kumuh yang umumnya
dihuni oleh orang-orang miskin, dapat menggugah nurani mereka untuk bertanya,
mengapa mereka menjadi miskin atau sengaja dimiskinkan.
Dengan menunjukkan lumut dan masalah
kemiskinan pada anak secara nyata, secara tidak langsung sudah membangkitkan gairah
kesadaran anak untuk melihat lebih jauh sebab munculnya lumut dan masalah
kemiskinan. Dengan memperlihatkan hal sederhana ini sebenarnya di dalam diri
anak perlahan-lahan tertanam keingintahuan yang mendalam akan sesuatu. Cara belajar
seperti ini sebenarnya sudah dimulai oleh salah satu aliran dalam filsafat
yaitu konstruktivisme. Para penganut aliran ini melihat alam semesta sebagai
satu kesatuan histories (gestalt),
dinamis dan inovatif. Dengan aktivitas manusia, dunia dihumanisasi sebagai
habitatnya. Dalam kesatuan ini dunia berkembang sejalan dengan perkembangan
manusia sebagai subjek histories. Aliran ini lebih jauh melihat ekologi,
sosiologi dan antropologi saling membutuhkan atau meminjam kosa kata dari
Martin Heidegger, “ada dalam dunia
terbentuk bersama dengan ada bersama..”
Ini menjadi alasan, mengapa untuk manusia masa kini, skema-skema
pemikiran tentang kosmos yang bertumpuh pada proses seperti dikemukakan oleh
Bergson, Whitehead dan J. Dewey mendapat sorotan dan perhatian serta diterima
sebagai pengganti metafisika-metafisika klasik yang bertumpuh pada
bentuk-bentuk murni / ide-ide yang tidak berubah. Skema pemikiran yang
bertumpuh pada proses lebih menjawabi mentalitas ilmiah dibandingkan dengan
skema pemikiran metafisis. Skema pemikiran yang membutuhkan suatu proses
bertumpuh pada prinsip tunggal yakni
segala sesuatu dapat dimodifikasi.
Pendidikan sebagai bagian yang
sentral dalam kehidupan manusia modern
mestinya mendapat perhatian lebih, secara khusus mencari format pendidikan yang
tepat untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia adalah contoh bahwa
dalam pergantian itu sendiri, pemerintah dan tentunya masyarakat pengguna jasa
pendidikan merasa jauh dari kekurangan dalam proses belajar-mengajar sehingga
output yang dihasilkan belum terlalu menjawabi kebutuhan publik. Berhadapan
dengan fakta ini maka usaha untuk memodifikasi metode pembelajaran yang tertata
melalui kurikulum berbasis kompetensi merupakan suatu tuntutan yang mendesak. Dikatakan mendesak karena sudah sekian tahun,
mutu pendidikan Indonesia belum bersaing dengan negara lain dan karenanya untuk
dapat mensejajarkan diri dengan negara lain
dalam pelbagai aspek hanya melalui jalur pendidikan.
Dengan adanya pendidikan dan
penerapan metode yang tepat di mana para siswa dilibatkan secara aktif dalam
proses pembelajaran dan pemberdayaan berpikir secara mandiri, suatu ketika
mereka dapat menampilkan diri sebagai agen-agen ilmuwan yang handal dan mampu
bersaing dengan negara lain yang telah maju. Kalau melihat dan mengikuti
perkembangan dunia pendidikan dari negara yang maju, suatu hal yang menonjol
adalah keterbukaan dunia pendidikan dengan lingkungan sekitar yang mendukung
terciptanya suatu suasana intelektual yang kondusif. Sejak dini, para siswa
sudah dilibat-aktifkan oleh pengajar untuk menekuni ilmu yang tertuang dalam
buku dan tidak menutup mata terhadap lingkungan sekitar, tempat mereka mencari
ilham dan mengasah kesadaran mereka.
Bagi para siswa di negara yang
berkembang, ruang kelas yang sumpek tidak lebih merupakan arena latihan untuk
membangun skema-skema pemikiran yang logis yang bertolak dari teori yang ada
atau penciptaan teori baru. Sedangkan realitas lingkungan adalah tempat di mana
mereka mencari dan menagih bukti tentang kebenaran. Kebenaran bagi mereka
merupakan rentangan garis persinggungan antara apa yang dikemas dan dipelajari
sebagai teori baku dan pembuktian teori di alam bebas. Karena itu kebenaran
bukan merupakan sesuatu yang “mengambang”, jauh dari penggalian oleh pikiran
manusia, melainkan ia ( kebenaran ) itu adalah suatu yang terpendam dan
menunggu untuk digali dengan daya pikir dan daya juang manusia yang berintelek.
Mencari format pembelajaran baru
Format
pembelajaran yang baik seperti yang
didengung-kan oleh kurikulum 2004 ini adalah memberdayakan para siswa untuk
memahami ilmu pengetahuan dengan lebih efektif. Untuk memahami secara benar
akan ilmu pengetahuan maka para siswa melibatkan diri secara penuh dan dituntun
untuk melihat dunia sekitar sebagai perangkat pendukung pembelajaran.
Keberhasilan
dalam dunia pendidikan secara umum tentu melibatkan seluruh komponen yang
berperan langsung maupun tidak langsung dalam mendukung proses pembelajaran.
Dalam kaitan dengan pembelajaran secara terbuka dengan mengkonsumsi alam
sekitar, bagi konstruktivisme,
bagian-bagian urgen yang mendukung suatu sistem dalam satu keseluruhan saling berinterakasi
demi kepentingan keseluruhan itu dan menerima arti dari keseluruhan itu. Dunia
berkembang bersama dengan manusia. Dan manusia yang hidup telah membentuk sejarah panjang untuk
menyingkapkan suatu makna global dan imanen. Dan dalam perkembangan itu
nilai-nilai terus berubah dan dialihkan dari generasi ke generasi. Dalam
perspektif historisisme, keseluruhan sebagai realitas selalu berkembang tanpa
batas. Manusia tidak lagi melihat diri sebagai forma substansial yang tetap
sama melainkan sebagai forma histories yang terus menerus berproses. Segala
sesuatu berubah termasuk pemikiran dan norma-norma moral. Norma-norma moral
berubah bukan hanya dalam penerapan prinsip melainkan dalam isi prinsip.
Berpihak pada pandangan ini dapat dikatakan bahwa penerapan kurikulum baru
masih berada pada suatu proses yang panjang dan dalam perjalanan selanjutnya
ketika melihat perubahan yang mendasar dalam sistem pendidikan itu, kadang kita berhenti sejenak bertanya, mengapa selalu ada perubahan?***
(Valery Kopong)
0 Komentar