“Hanya satu yang saya tahu
yaitu saya tidak tahu apa-apa.”https://www.istockphoto.com/
Sedari dulu, guru
dilirik sebagai sosok yang menyimpan ilmu dan pemberi teladan bagi siswa.
Tumpuan kepintaran para siswa sangat bergantung pada guru, si pemberi ilmu.
Ilmu yang didalami guru selama di bangku kuliah, seakan menuntut “penetasan”
kembali pada “sangkar sekolah” sebagai bukti keterbukaannya pada siswa yang
dengan setia menyadap ilmunya. Melirik konsep publik tentang guru yang selalu
mengada dalam waktu, membuat penulis melahirkan sebuah pertanyaan tuyul. Masih
relevankah bila guru dianggap sebagai pengajar dan pendidik?
Di mata siswa, guru
menjadi salah satu tumpuan di mana mereka boleh menimbah ilmu. Di hadapan siswa
pula, guru adalah cerminan masa depan siswa yang masih berada dalam mayanda
suram. Masa depan siswa yang masih dalam taraf impian, seakan disibaki oleh
guru. Di sini, guru boleh tampil sebagai gembala tradisi dan nabi untuk masa
depan siswa.
Oleh peralihan
ilmu, secara gamlang dapat dikatakan bahwa siswa ditransformasikan sebagai
penerus ilmu sedangkan guru dijadikan oleh siswa sebagai tempat untuk menerima
ilmu. Di sini, tertampilkan peran mutualistik dan dalam konteks yang lebih
simpel, guru adalah sebuah “sapaan” bagi persentuhan antara pemberi dan
penerima, antara orang yang berpengetahuan lebih (baca: guru) dengan siswa yang
masih mendiami “wilayah tabula rasa.”
Visi dan misi
seorang pengajar dan pendidik terungkap dalam sapaan yang “menyejarah.” Misi
seorang guru dalam memproklamasikan ilmu sambil menyiapkan masa depan siswa
sebagai perwujudan visi-futuris. Guru yang bermodalkan ilmu, “bersentuhan”
secara langsung dengan siswa sebagai “lahan riil” dan sanggup membuka mata
siswa untuk menangkap dan merasakan pergulatan dengan ilmu yang ditawarkannya.
Keterlibatan guru dalam upaya pemberdayaan siswa merupakan sebuah langkah awal
dalam pencerahan masa depan.
Sebagai agen
perubahan masa depan siswa, guru perlu juga membekali diri secara lebih
mendalam dengan ilmu tambahan, selain yang telah diperoleh pada masa lalu di
bangku kuliah. Oleh pembelajaran yang kontinu ini, ilmu yang telah diperoleh
mengalami ‘peremajaan’ dan sanggup menempatkan diri sesuai dengan perubahan
zaman. Usaha guru untuk terus belajar dan meremajakan ilmunya merupakan bukti
pertanggung jawaban terhadap masa lalu. Tanpa kesadaran akan sejarah dan
keberanian untuk menggumuli kembali ilmu di masa lalu, guru hanya tampil
sebagai pelaku sejarah yang pasif.
Antara ilmu dengan
siswa sebagai penerima ilmu, terdapat guru yang membenang-merahi proses
pengalihan ilmu kepada para siswa. Tindakan komunikatif dari guru tidak saja
menukarkan gagasan tentang sesuatu, melainkan dalam memberikan gagasannya, guru
disanggupkan sebagai pendidik yang memberikan contoh atau teladan yang terbaik
bagi siswanya. Tersebab oleh pendemonstrasian teladan inilah maka guru tetap
memposisikan diri sebagai pengajar dan sekaligus sebagai pendidik.
Sapaan ‘guru’
mengandung dua aspek secara serentak. Guru tidak hanya tampil sebagai pengajar
dengan mengesampingkan nilai-nilai pedagogisnya, melainkan dalam diri seorang
guru mestinya ada penyatuan dua aspek ini yakni sebagai pendidik dan pengajar.
Barangkali di sini, terdapat persoalan urgen yang dihadapi oleh para guru. Di
satu sisi, sebagai pengajar, seorang guru sanggup memindahkan ilmu dari “gudang
pemikiran” kepada siswa sebagai alamat terakhir di mana ilmu itu tersalur.
Namun di sisi lain, terkadang guru tidak sanggup sebagai pendidik dalam
memberikan teladan.
Dari sisi edukatif,
ada sejumlah pertanyaan meragukan yang dialamatkan kepada guru sebagai pengajar
dan pendidik, misalnya pertanyaan tentang ketidak-sanggupannya dalam membidangi
sebuah ilmu atau tentang kegagalannya sebagai pendidik. Dua hal ini mestinya
melekat dalam diri seorang guru secara utuh. Dalam proses mengajar dan
mendidik, seorang guru tidak luput dari kekurangan kedua aspek ini. Tetapi
kekurangan itu bisa teratasi bila ada keterbukaan hati untuk mau belajar dan
berendah hati. Dari segi keteladanan, seorang guru baru, boleh mengaca diri
pada guru yang telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan karena darinya
dapat diperoleh pelbagai hal dalam mereparasi kekurangannya. Dari segi ilmu
pengetahuan, seorang guru mestinya belajar pada “intellectual modesty” milik
Sokrates. “Hanya satu yang saya tahu yaitu saya tidak tahu apa-apa.” Berpijak
pada pemikiran ini maka guru tak pernah berhenti menggumuli ilmu
pengetahuannya.***(Valery Kopong)
0 Komentar