Unordered List

6/recent/ticker-posts

Guru

 

“Hanya satu yang saya tahu yaitu saya tidak tahu apa-apa.”

https://www.istockphoto.com/

            Sedari dulu, guru dilirik sebagai sosok yang menyimpan ilmu dan pemberi teladan bagi siswa. Tumpuan kepintaran para siswa sangat bergantung pada guru, si pemberi ilmu. Ilmu yang didalami guru selama di bangku kuliah, seakan menuntut “penetasan” kembali pada “sangkar sekolah” sebagai bukti keterbukaannya pada siswa yang dengan setia menyadap ilmunya. Melirik konsep publik tentang guru yang selalu mengada dalam waktu, membuat penulis melahirkan sebuah pertanyaan tuyul. Masih relevankah bila guru dianggap sebagai pengajar dan pendidik?

            Di mata siswa, guru menjadi salah satu tumpuan di mana mereka boleh menimbah ilmu. Di hadapan siswa pula, guru adalah cerminan masa depan siswa yang masih berada dalam mayanda suram. Masa depan siswa yang masih dalam taraf impian, seakan disibaki oleh guru. Di sini, guru boleh tampil sebagai gembala tradisi dan nabi untuk masa depan siswa.

            Oleh peralihan ilmu, secara gamlang dapat dikatakan bahwa siswa ditransformasikan sebagai penerus ilmu sedangkan guru dijadikan oleh siswa sebagai tempat untuk menerima ilmu. Di sini, tertampilkan peran mutualistik dan dalam konteks yang lebih simpel, guru adalah sebuah “sapaan” bagi persentuhan antara pemberi dan penerima, antara orang yang berpengetahuan lebih (baca: guru) dengan siswa yang masih mendiami “wilayah tabula rasa.”  

            Visi dan misi seorang pengajar dan pendidik terungkap dalam sapaan yang “menyejarah.” Misi seorang guru dalam memproklamasikan ilmu sambil menyiapkan masa depan siswa sebagai perwujudan visi-futuris. Guru yang bermodalkan ilmu, “bersentuhan” secara langsung dengan siswa sebagai “lahan riil” dan sanggup membuka mata siswa untuk menangkap dan merasakan pergulatan dengan ilmu yang ditawarkannya. Keterlibatan guru dalam upaya pemberdayaan siswa merupakan sebuah langkah awal dalam pencerahan masa depan.

            Sebagai agen perubahan masa depan siswa, guru perlu juga membekali diri secara lebih mendalam dengan ilmu tambahan, selain yang telah diperoleh pada masa lalu di bangku kuliah. Oleh pembelajaran yang kontinu ini, ilmu yang telah diperoleh mengalami ‘peremajaan’ dan sanggup menempatkan diri sesuai dengan perubahan zaman. Usaha guru untuk terus belajar dan meremajakan ilmunya merupakan bukti pertanggung jawaban terhadap masa lalu. Tanpa kesadaran akan sejarah dan keberanian untuk menggumuli kembali ilmu di masa lalu, guru hanya tampil sebagai pelaku sejarah yang pasif.

            Antara ilmu dengan siswa sebagai penerima ilmu, terdapat guru yang membenang-merahi proses pengalihan ilmu kepada para siswa. Tindakan komunikatif dari guru tidak saja menukarkan gagasan tentang sesuatu, melainkan dalam memberikan gagasannya, guru disanggupkan sebagai pendidik yang memberikan contoh atau teladan yang terbaik bagi siswanya. Tersebab oleh pendemonstrasian teladan inilah maka guru tetap memposisikan diri sebagai pengajar dan sekaligus sebagai pendidik.

            Sapaan ‘guru’ mengandung dua aspek secara serentak. Guru tidak hanya tampil sebagai pengajar dengan mengesampingkan nilai-nilai pedagogisnya, melainkan dalam diri seorang guru mestinya ada penyatuan dua aspek ini yakni sebagai pendidik dan pengajar. Barangkali di sini, terdapat persoalan urgen yang dihadapi oleh para guru. Di satu sisi, sebagai pengajar, seorang guru sanggup memindahkan ilmu dari “gudang pemikiran” kepada siswa sebagai alamat terakhir di mana ilmu itu tersalur. Namun di sisi lain, terkadang guru tidak sanggup sebagai pendidik dalam memberikan teladan.

            Dari sisi edukatif, ada sejumlah pertanyaan meragukan yang dialamatkan kepada guru sebagai pengajar dan pendidik, misalnya pertanyaan tentang ketidak-sanggupannya dalam membidangi sebuah ilmu atau tentang kegagalannya sebagai pendidik. Dua hal ini mestinya melekat dalam diri seorang guru secara utuh. Dalam proses mengajar dan mendidik, seorang guru tidak luput dari kekurangan kedua aspek ini. Tetapi kekurangan itu bisa teratasi bila ada keterbukaan hati untuk mau belajar dan berendah hati. Dari segi keteladanan, seorang guru baru, boleh mengaca diri pada guru yang telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan karena darinya dapat diperoleh pelbagai hal dalam mereparasi kekurangannya. Dari segi ilmu pengetahuan, seorang guru mestinya belajar pada “intellectual modesty” milik Sokrates. “Hanya satu yang saya tahu yaitu saya tidak tahu apa-apa.” Berpijak pada pemikiran ini maka guru tak pernah berhenti menggumuli ilmu pengetahuannya.***(Valery Kopong)

Posting Komentar

0 Komentar