Beberapa
hari terakhir ini berita tentang penolakan terhadap atribut keagamaan semakin
gencar. Salah satu contoh berita viral adalah penutupan patung Bunda Maria dengan
terpal. Melihat peristiwa itu, banyak orang menyalahkan ormas tertentu yang disinyalir
sebagai biang munculnya masalah ini. Namun sebagai orang Katolik, saya sendiri
harus memberikan kritik diri terkait keberadaan rumah doa dan penempatan patung
Bunda Maria yang berada di Kulonprogo – Yogyakarta. Jika melihat patung dengan
ukuran yang begitu besar, barangkali kurang pas bila ditempatkan pada ruang doa
terkesan sempit itu.
Aspek
lain yang harus dilakukan adalah bagaimana pemilik rumah doa itu membangun
komunikasi dengan orang-orang sekitar, terutama yang beragama non Katolik. Mengapa
komunikasi menjadi penting? Karena hanya dengan komunikasi yang baik, ada ruang
keterbukaan dan saling menerima satu terhadap yang lain. Keberadaan tempat doa
yang dilengkapi dengan patung Bunda Maria, merupakan program jangka panjang,
karena itu harus dipersiapkan secara matang. Selain itu, terkait keberadaan tempat
doa itu, perlu ada pengurusan ijin dari pemerintah setempat.
Surat
ijin menjadi penting karena itu memperlihatkan legalitas tempat yang digunakan sebagai
tempat doa. Jika doa itu dilaksanakan dengan baik dan penuh rasa aman, tentunya
lingkungan sekitar tetap mendukung supaya situasi tetap kondusif. Melihat reaksi
di media sosial terhadap keberadaan patung Bunda Maria, mengingatkan kita akan
peran dan tugas yang diemban oleh Bunda Maria sangat berat. Ketika Bunda Maria
menerima kabar gembira dari malaikat Gabriel, Ia berani mengatakan ya, tetapi resiko
yang dihadapi juga tidak ringan.
Melihat
terpal biru yang dijadikan sebagai penutup patung Bunda Maria, kita teringat
akan mantel biru yang dikenakan Bunda Maria. Birunya mantel Bunda Maria
memperlihatkan birunya laut yang selalu siap menampung segala yang baik dan yang
buruk. Hati Maria melebihi kedalaman laut yang siap menampung keluh kesah
setiap orang.***(Valery Kopong)
0 Komentar