Beberapa
hari ini diskusi seputar pertandingan sepak bola U-20 yang mestinya digelar di Indonesia
sebagai tuan rumah, ternyata berakhir dengan kekecewaan. Menurut informasi yang
beredar bahwa FIFA sudah menyurati secara resmi pemerintah Indonesia terkait
pembatalan ini. Surat yang dikeluarkan oleh FIFA untuk pemerintah Indonesia pasti
jelas merujuk pada diskusi-diskusi tentang Israel, apakah diperbolehkan untuk
berlaga di Indonesia atau tidak. Menurut penulis, diskusi ini masih terlalu
dini dan liar karena mestinya harus dibedakan, mana yang berkaitan dengan
urusan olah raga dan mana urusan politik.
Dari
diskusi yang berkembang dikatakan bahwa hampir semua ormas Islam menolak kedatangan
tim U-20 dari Israel. Alasan penolakan adalah pertama terkait tidak adanya
hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel, Kedua, terkait dengan konflik
yang masih terjadi antara Israel dan Palestina. Memang, selama ini Indonesia tetap
mendukung kemerdekaan Palestina, namun dengan menolak kehadiran tim U-20 dari Israel
bukan berarti kemerdekaan Palestina segera terwujud. Tetapi sebaliknya,
peristiwa penolakan ini memperburuk citra Indonesia di mata dunia internasional
yang tidak membedakan antara dunia sepak bola dan dunia politik.
Memang,
harusnya peristiwa ini tidak dilihat secara politis tetapi dilihat dari kaca mata olah raga. Olah raga,
terutama sepak bola menyatukan semua pihak. Animo masyarakat Indonesia untuk
menikmati pertandingan sepak bola lebih besar dan bahkan mengalahkan animo
politik bagi generasi muda Indonesia. Dengan mengadakan pertandingan bergengsi
ini mestinya semua pihak bergembira menyaksikan permainan yang menyenangkan
namun sebagian besar masyarakat Indonesia justeru menjadikan ajang untuk membangkitkan
pesan politik.
Israel,
nama yang abadi dalam kitab suci. Israel sebagai bangsa pilihan Allah tentunya
tidak meratapi penolakan Indonesia. Mereka ditolak tetapi di balik itu semua
adalah memperburuk citra Indonesia di mata dunia. Dalam sebuah permainan bola,
gol merupakan tujuan akhir. Gol adalah tujuan akhir. Suburnya gol ibarat
tingkat kemakmuran yang menggembirakan hati. Kita menyaksikan bagaimana
ideologi gol menarik para pemain bola untuk ‘bernafsu’ menyerang, seperti yang
diperagakan oleh pemain hebat di piala dunia. Pada peristiwa penolakan ini
memunculkan pertanyaan penting. Sampai kapan Indonesia bisa berkembang dan maju
dalam dunia sepak bola?***(Valery Kopong)
0 Komentar