Unordered List

6/recent/ticker-posts

Kepulan Asap

 


Di traffic light  dengan lampu-lampunya kian redup itu. Deru knalpot-knalpot kota terus membahana mengusik ketenangan manusia-manusia puntung. Deburan asap membubung ke langit semesta, membuat kota itu semakin kabut lantaran jemari sang mentari sulit menggapai bumi. Tetapi apakah di tengah hiruk-pikuk kota yang semrawut semakin memastikan mereka dengan tangan terulur terus meminta-minta? Sampai kapankah tangan mereka berhenti meminta?  Hanya waktulah yang memastikan denyut nadi kehidupan mereka, entah kapan.

Tak pernah sepi ruas jalan utama memasuki gerbang ibu kota itu. Ibu kota kian keras menantang kehidupan mereka. Baginya, sejahat-jahatnya ibu tiri, jauh lebih jahat dari ibu kota. Ibu kota yang tidak memberi rasa aman, tidak memberikan  perlindungan yang manusiawi. Di tangan mereka hanya tergenggam harapan kosong. Yang ada adalah jeritan luka yang terus menganga menanti harap untuk dipenuhi. 

Hampir setiap hari, orang-orang kusta tidak pernah sepi menjejali jalan utama. Mereka terbuang dari bibir nestapa dan penyakit yang terus menggerogoti hidup yang kian kejam. Orang-orang kusta sepertinya sudah ditakdirkan sebagai manusia sisa yang terkena kutuk dari Allah. Mereka tersingkir dari pergaulan umum karena masyarakat jijik dan takut terjangkit penyakit yang parah itu. Saya melihat dan membandingkan kehidupan orang kusta di Tangerang dan Lembata yang terhimpun pada Rumah Sakit Lepra, Santo Damian, terkesan ada perbedaan yang sangat tajam. Perbedaan itu terlihat dari perhatian dan pemberian hidup yang layak bagi mereka yang sudah menjadi eks kusta. 

Berjuang Melawan Kusta

          Tentang kehidupan orang kusta yang saya jumpai, teringat saya akan peranan yang sangat besar seorang Gisela Borowka. Ketika itu, 28 Agustus 1963, ia menginjakkan kakinya untuk pertama kali di pulau Lomblen (Lembata). Kehadiran perempuan berkebangsaan Jerman ini membawa satu misi kemanusiaan yang sangat luhur yaitu mau melawan kusta dan memproklamirkan bahwa penyakit kusta bisa diobati serta bukan merupakan kutukan Tuhan. Kedatangan Gisela Borowka seakan membawa spirit baru dan orang-orang kusta boleh lega untuk menatap masa depan walau dengan sisa anggota tubuhnya  yang masih melekat.

          Hal pertama yang dilakukan oleh Gisela adalah memberikan pemahaman dan  penerangan  secara jernih kepada masyarakat bahwa penyakit lepra bukanlah penyakit kutukan dan bisa diobati.   Bersama temannya, Isabella Diaz Gonzales, mereka berjalan kaki menyusuri satu desa ke desa lain, hanya untuk mengembalikan pandangan masyarakat ke arah yang baik yaitu menerima kembali para penderita kusta untuk masuk ke dalam kehidupan masyarakat secara normal. Mereka tak mengenal lelah. Perjuangan mereka terus menderu dan membahana di bumi ikan paus itu. Pada mulanya mereka menampung para penderita di gubuk sederhana. Di sinilah mereka mulai mengenal, berinteraksi dengan para kusta.

          Melihat perjuangan mereka yang gigih dan tangguh, membuat kita untuk bertanya. Apa yang mereka cari? Masih berhargakah orang-orang kusta sehingga mereka berani melangkahkan kaki dari benua Eropa yang sangat jauh, hanya untuk datang mengurus orang-orang kusta?  Spirit manakah yang mereka peroleh sebagai pegangan yang berharga dalam hidup?    Sebenarnya keterlibatan Gisela dalam misi sosial ini diinspirasi oleh sosok Pastor Damian de Veuster, SSCC. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar di Jerman Timur, Gisela Borowka sudah membaca dan mengenal cerita tentang kehidupan Pastor Damian. Ia (Pastor Damian) dikenal sebagai pahlawan Molokai karena keterlibatannya dengan kaum kusta, bahkan ia pada akhirnya terkena kusta dan mati di Molokai. Selama 16 tahun, ia hidup di pulau terkucil ini dan memberikan perhatian penuh kepada mereka dan mengakhiri hidupnya secara tragis. 

          “Hati kecil mengatakan bahwa saya harus mengikuti jejak Pastor Damian,”kata Gisela Borowka. Oleh dorongan hati yang telah dipenuhi dengan kehidupan pahlawan Molokai, ia (Gisela Borowka) memberanikan diri untuk keluar dari negerinya dan mencari daerah terpencil, Lembata-Flores Timur. Kehadirannya di pulau ini seakan mewujudkan  cita-cita masa kecil yaitu ingin mengikuti jejak Pastor Damian. Kondisi Lembata memang tidak separah Molokai tapi status orang kusta sama-sama terkucil. Damian, sang imam, tidak hanya menjadi pelayan altar yang setia saat merayakan ekaristi, sebuah persembahan yang hidup. Ia (Damian) barangkali lebih memahami ekaristi sebagai bentuk keterlibatan dan membagi diri, membagi perhatian untuk mereka yang tersingkir.

Memahami ekaristi sebagai sumber kehidupan, telah mengantarkan seorang Damian untuk membenamkan langkahnya di Molokai. Molokai baginya adalah bukit tengkorak, tempat ia disalibkan    dengan lepra sebagai salib yang membebani dirinya. Keberaniannya untuk menjadikan diri sebagai bagian dari korban untuk mendampingi mereka yang tersingkir karena penyakit, adalah bukti persembahan yang luhur. Ibarat lilin yang menghanguskan diri untuk memberi terang pada orang-orang di sekitarnya, demikian juga dengan pengorbanan seorang Damian. Ia membuka dirinya dan berani berkorban untuk orang lain. Kematiannya di tengah-tengah mereka yang tersingkir, semakin memberi makna hidup bagi mereka yang terkena kusta.

Pelayanan seorang Gisela, Isabella, dan pengorbanan seorang Damian, semuanya bermuara pada kasih dan keberpihakkan Yesus pada mereka. Sebagai Guru, Yesus telah memperlihatkan nilai sebuah pengorbanan untuk diguguh, ditiru dari satu titian zaman ke titian zaman yang lain.  Setelah memberikan kesembuhan pada mereka yang terkena kusta, para mantan kusta dibawa keliling oleh Gisela untuk mementaskan  teater. Melalui teater, yang diperankan oleh para eks kusta, membuka mata kepada publik akan keberpihakkan para aktivis kemanusiaan dan menyadari bahwa orang-orang kusta masih berharga di mata manusia. Orang-orang kusta di Lembata selalu mendapat sentuhan perhatian dari para suster yang merawat, beda dengan orang-orang kusta di Tangerang. Walau berada di bibir ibu kota Jakarta, mereka terus tersingkir dan miskin perhatian dari orang lain. Mereka terus menunggu nasib di bawah terik dan menjerit dalam kepulan asap yang membeku.***(Valery Kopong)   

 

Posting Komentar

0 Komentar