Unordered List

6/recent/ticker-posts

Mari Membuang Undi

 


 

“Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, berserulah terhadap mereka karena kejahatannya telah sampai kepada-Ku.”  Inilah sepenggal seruan Tuhan kepada Yunus bin Amitai yang tidak dituruti. Yunus tidak berpaling dari seruan Tuhan melainkan melarikan diri ke Tarsis. Momentum pengingkaran akan seruan Tuhan menjadikan perjalanan Yunus mengalami ketersendatan bahkan karena Yunus maka para penumpang kapal harus mengalami penderitaan. Kehadiran Yunus mendatangkan malapetaka bagi yang lain, tetapi ia sendiri tidak menyadari tentang permasalahan pokok, mengapa sampai terjadi bencana itu. Ia menganggap bahwa seruanNya hanyalah sebuah retorika religius yang tak perlu mendapat respons balik.

            Tuhan yang menyuruh Yunus adalah Tuhan yang peka terhadap situasi dan mau mengambil bagian dalam situasi keprihatinan akan pola perilaku dan tindakan yang oleh Tuhan sendiri dinilai tidak pantas untuk dijalani lagi. Melalui Yunus, Tuhan mau meluruskan kembali seluruh tatanan sosial, politik dan kemasyarakatan dalam satu tatanan baku yang dikehendaki oleh Tuhan. Masyarakat Allah adalah masyarakat yang hidup dalam genggamanNya dan menuruti seluruh kerangka dasar pemikiran Allah. Tetapi mengapa Allah, yang empunya masyarakat itu begitu prihatin dengan kehidupan mereka? Sudah jauhkah mereka keluar dari norma sosial sehingga Allah menyuruh Yunus untuk menegurnya?

Sebelum menegur umatNya, Tuhan terlebih dahulu menegur Yunus dengan cara yang paling sadis yaitu mendatangkan malapetaka di laut. Malapetaka yang ditimpahkan kepadanya tidak dinikmati sendiri melainkan juga membinasakan orang lain yang bersama-sama dengan Yunus dalam satu kapal. Peringatan Tuhan lewat badai tidak lain adalah mengembalikan hati Yunus dan mengasah kesadarannya untuk peka dan peduli terhadap kehidupan publik yang oleh Allah dinilai berada jauh dari kesempurnaan hidup sebagai manusia. Tindakan Allah atas Yunus dapat dilihat sebagai bentuk pemurnian diri (purifikasi diri) sebelum berhadapan dengan sesama yang lain di kota Niniwe

 

 

 

 

 

Membaca Tanda Yunus: Membaca Indonesia

 

            Ketika membaca dan merenungkan kisah tanda nabi Yunus ini, penulis menemukan titik kesamaan terutama tentang badai yang melanda kapal saat pelarian Yunus dan perjalanan kapal yang bernama “Indonesia” yang selalu dihantui oleh badai yang senantiasa menghadang. Beberapa tahun terakhir ini Indonesia tidak pernah sepi dari terpaan masalah korupsi yang akut dan anak-anak pejabat mempertontonkan kesombongan dengan memamerkan barang-barang mewah milik orang tuanya. Anak orang kaya menindas orang yang kurang beruntung tanpa ada rasa kemanusiaan. Buntut dari persoalan ini, mobil mewah dan moge yang dipertontonkan anak orang kaya itu, dilacak oleh nitizen. Ayahnya yang saat itu punya jabatan di dirjen pajak harus dicopot dan diperiksa KPK terkait harta kekayaan yang tidak wajar itu.

Hari ini ada bencana kemerosotan moral dan etika, orang lalu membuat suatu prediksi, bencana apalagi yang akan datang setelah bencana ini. Pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang lumrah dan menemukan jawaban yang pasti di negeri tercinta ini. Terhadap bencana yang beruntun ini seakan menutup ruang gerak hidup yang tidak bebas dan dalam perjalanan hidup ini, hampir tiap orang Indonesia bertanya, mengapa ada kesombongan di balik kekayaan yang dimiliki?

Situasi yang dihadapi oleh masyarakat perkotaan terutama tindakan kasar yang dilakukan oleh anak-anak orang kaya terhadap orang tak berdaya, secara tidak langsung memberikan ancaman pada ruang gerak kebebasan dalam pergaulan.  Terhadap situasi tapal batas ini, Gustavo Gutierrez, seorang pegiat teologi pembebasan  memberi peringatan kepada publik bahwa masyarakat  bertanya serius mengenai kemungkinan ruang hidup pada abad ini. Itu berarti bahwa gerak perjalanan mereka untuk bertarung hidup semakin menipis. Ada keterbukaan jalan menuju kematian yang semakin melebar yang telah disiapkan oleh kaum elite lewat pola tingkah hidup mereka. Bencana merosotnya rasa kemanusiaan  adalah ikon dari perusakan moralitas dan pembalakan liar terhadap etika publik. Oleh ulah segelintir orang, rakyat kecil  yang menerima getah kematian.

Persoalan-persoalan di atas apabila dikemas dalam konteks tanda nabi Yunus, maka mungkin sudah saatnya kita menyerukan untuk membuang undi secara nasional. Apakah rakyat miskin yang menjadi penyebab timbulnya bencana ataukah kaum elite birokrat yang menjadi penyebab munculnya bencana kemerosotan nilai-nilai moral?  Membuang undi adalah suatu bentuk tuduhan yang paling normal dan legitimasi atas penyebab musibah itu sendiri. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam ”membuang undi” adalah kejujuran untuk mengakui diri sebagai penyebab bencana. Pribadi Yunus adalah pribadi yang jujur yang berani mengakui kesalahan sebagai usaha untuk menyelamatkan yang lain. Ia mengutamakan keselamatan dan memperlihatkan tanggung jawabnya terhadap publik.

Atas nama malapetaka yang merambat kepada publik, Yunus pada akhirnya meminta diri untuk diangkat dan dibuang ke laut. Peristiwa pembuangan dirinya ke laut menjadi kerangka dasar dalam meredam dan meminimalisir bencana lanjutan. Ia menjadi korban yang terpaksa dikorbankan demi keselamatan para penumpang kapal.  Di sini Yunus dilihat sebagai pribadi yang membawa sial dan pribadi pencipta neraka bagi publik. Atau meminjam bahasa Jean Paul Sartre, neraka itu tidak jauh, dia bukan baru ditemukan sesudah kematian. Sebab neraka adalah sesamamu sendiri: sesamamu yang menjadikan dirimu objek pemikirannya, sesama yang menginginkan kehancuranmu. Neraka tak perlu dipikirkan jauh-jauh, sebab dia ada di sisimu. Dia itu sesamamu. Dia yang menimbulkan kejengkelan dalam dirimu laksana api yang bernyala. Dia yang mengecewakan dan meninggalkanmu sendirian. Dia itu nerakamu!

Dalam tulisan berjudul, “fenomenologi tobat dan politik,” Ignas Kleden  lebih menekankan otentisitas doa dan tobat. Otentisitas doa dan tobat diuji dalam perilaku yang dihasilkan. Kalau perilaku seseorang berubah dan disesuaikan dengan tobat dan doa yang dilakukan, maka doa dan tobat itu otentik. Sebaliknya, jika tidak ada perubahan dalam perilaku setelah seseorang merasa melakukan tobat dan berdoa, maka di sana terjadi distorsi tobat dan doa (Kompas, 13/3-2007). Gerakan ini menandakan bahwa ada upaya untuk menyadari diri terutama tentang pola perilaku dan kebijakan yang diambil selama ini. Banyak hal yang perlu dibenahi untuk menata kehidupan bangsa yang lebih baik. Tobat nasional akan menemukan hasil secara maksimal apabila masing-masing pejabat berefleksi diri sembari bertanya, apakah saya sebagai penyebab utama dalam mendatangkan bencana kemerosotan nilai-nilai moral?

            Sulit sekali untuk mencari figur-figur Yunus yang baru di negeri ini, yaitu pribadi yang berani mengakui seluruh kesalahan dan bersedia ditenggelamkan ke dalam lautan yang terdalam. Tanda nabi Yunus adalah tanda abadi untuk umat manusia. Suatu tanda yang menandakan adanya rasa sesal dan dalam lingkup sesal yang sama kita berani berkata, “hempaskanlah aku dari negeri ini untuk meredam bencana....”***(Valery Kopong)    

Posting Komentar

0 Komentar