“Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar
itu, berserulah terhadap mereka karena kejahatannya telah sampai
kepada-Ku.” Inilah sepenggal seruan
Tuhan kepada Yunus bin Amitai yang tidak dituruti. Yunus tidak berpaling dari
seruan Tuhan melainkan melarikan diri ke Tarsis. Momentum pengingkaran akan seruan
Tuhan menjadikan perjalanan Yunus mengalami ketersendatan bahkan karena Yunus
maka para penumpang kapal harus mengalami penderitaan. Kehadiran Yunus mendatangkan
malapetaka bagi yang lain, tetapi ia sendiri tidak menyadari tentang permasalahan
pokok, mengapa sampai terjadi bencana itu. Ia menganggap bahwa seruanNya
hanyalah sebuah retorika religius yang tak perlu mendapat respons balik.
Tuhan
yang menyuruh Yunus adalah Tuhan yang peka terhadap situasi dan mau mengambil
bagian dalam situasi keprihatinan akan pola perilaku dan tindakan yang oleh
Tuhan sendiri dinilai tidak pantas untuk dijalani lagi. Melalui Yunus, Tuhan
mau meluruskan kembali seluruh tatanan sosial, politik dan kemasyarakatan dalam
satu tatanan baku yang dikehendaki oleh Tuhan. Masyarakat Allah adalah masyarakat
yang hidup dalam genggamanNya dan menuruti seluruh kerangka dasar pemikiran
Allah. Tetapi mengapa Allah, yang empunya masyarakat itu begitu prihatin dengan
kehidupan mereka? Sudah jauhkah mereka keluar dari norma sosial sehingga Allah
menyuruh Yunus untuk menegurnya?
Sebelum menegur umatNya, Tuhan
terlebih dahulu menegur Yunus dengan cara yang paling sadis yaitu mendatangkan
malapetaka di laut. Malapetaka yang ditimpahkan kepadanya tidak dinikmati
sendiri melainkan juga membinasakan orang lain yang bersama-sama dengan Yunus
dalam satu kapal. Peringatan Tuhan lewat badai tidak lain adalah mengembalikan
hati Yunus dan mengasah kesadarannya untuk peka dan peduli terhadap kehidupan
publik yang oleh Allah dinilai berada jauh dari kesempurnaan hidup sebagai
manusia. Tindakan Allah atas Yunus dapat dilihat sebagai bentuk pemurnian diri
(purifikasi diri) sebelum berhadapan dengan sesama yang lain di kota Niniwe
Membaca
Tanda Yunus: Membaca Indonesia
Ketika
membaca dan merenungkan kisah tanda nabi Yunus ini, penulis menemukan titik
kesamaan terutama tentang badai yang melanda kapal saat pelarian Yunus dan
perjalanan kapal yang bernama “Indonesia” yang selalu dihantui oleh badai yang
senantiasa menghadang. Beberapa tahun terakhir ini Indonesia tidak pernah sepi
dari terpaan masalah korupsi yang akut dan anak-anak pejabat mempertontonkan
kesombongan dengan memamerkan barang-barang mewah milik orang tuanya. Anak orang
kaya menindas orang yang kurang beruntung tanpa ada rasa kemanusiaan. Buntut dari
persoalan ini, mobil mewah dan moge yang dipertontonkan anak orang kaya itu,
dilacak oleh nitizen. Ayahnya yang saat itu punya jabatan di dirjen pajak harus
dicopot dan diperiksa KPK terkait harta kekayaan yang tidak wajar itu.
Hari ini ada bencana kemerosotan moral
dan etika, orang lalu membuat suatu prediksi, bencana apalagi yang akan datang
setelah bencana ini. Pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang lumrah dan
menemukan jawaban yang pasti di negeri tercinta ini. Terhadap bencana yang
beruntun ini seakan menutup ruang gerak hidup yang tidak bebas dan dalam
perjalanan hidup ini, hampir tiap orang Indonesia bertanya, mengapa ada
kesombongan di balik kekayaan yang dimiliki?
Situasi yang
dihadapi oleh masyarakat perkotaan terutama tindakan kasar yang dilakukan oleh
anak-anak orang kaya terhadap orang tak berdaya, secara tidak langsung
memberikan ancaman pada ruang gerak kebebasan dalam pergaulan. Terhadap situasi tapal batas ini, Gustavo Gutierrez, seorang pegiat teologi pembebasan memberi peringatan kepada publik bahwa
masyarakat bertanya serius mengenai
kemungkinan ruang hidup pada abad ini. Itu berarti bahwa gerak perjalanan
mereka untuk bertarung hidup semakin menipis. Ada keterbukaan jalan menuju kematian yang semakin melebar yang telah
disiapkan oleh kaum elite lewat pola tingkah hidup mereka. Bencana merosotnya
rasa kemanusiaan adalah ikon dari
perusakan moralitas dan pembalakan liar terhadap etika publik. Oleh ulah segelintir
orang, rakyat kecil yang menerima getah
kematian.
Persoalan-persoalan di atas apabila
dikemas dalam konteks tanda nabi Yunus, maka mungkin sudah saatnya kita
menyerukan untuk membuang undi secara nasional. Apakah rakyat miskin yang
menjadi penyebab timbulnya bencana ataukah kaum elite birokrat yang menjadi
penyebab munculnya bencana kemerosotan nilai-nilai moral? Membuang undi adalah suatu bentuk tuduhan yang
paling normal dan legitimasi atas penyebab musibah itu sendiri. Satu hal yang
perlu diperhatikan dalam ”membuang undi” adalah kejujuran untuk mengakui diri
sebagai penyebab bencana. Pribadi Yunus adalah pribadi yang jujur yang berani
mengakui kesalahan sebagai usaha untuk menyelamatkan yang lain. Ia mengutamakan
keselamatan dan memperlihatkan tanggung jawabnya terhadap publik.
Atas nama malapetaka yang merambat
kepada publik, Yunus pada akhirnya meminta diri untuk diangkat dan dibuang ke
laut. Peristiwa pembuangan dirinya ke laut menjadi kerangka dasar dalam meredam
dan meminimalisir bencana lanjutan. Ia menjadi korban yang terpaksa dikorbankan
demi keselamatan para penumpang kapal. Di
sini Yunus dilihat sebagai pribadi yang membawa sial dan pribadi pencipta
neraka bagi publik. Atau meminjam bahasa Jean
Paul Sartre, neraka itu tidak jauh, dia bukan baru ditemukan sesudah
kematian. Sebab neraka adalah sesamamu sendiri: sesamamu yang menjadikan dirimu
objek pemikirannya, sesama yang menginginkan kehancuranmu. Neraka tak perlu
dipikirkan jauh-jauh, sebab dia ada di sisimu. Dia itu sesamamu. Dia yang
menimbulkan kejengkelan dalam dirimu laksana api yang bernyala. Dia yang
mengecewakan dan meninggalkanmu sendirian. Dia itu nerakamu!
Dalam tulisan berjudul, “fenomenologi
tobat dan politik,” Ignas Kleden lebih menekankan otentisitas doa dan tobat.
Otentisitas doa dan tobat diuji dalam perilaku yang dihasilkan. Kalau perilaku
seseorang berubah dan disesuaikan dengan tobat dan doa yang dilakukan, maka doa
dan tobat itu otentik. Sebaliknya, jika tidak ada perubahan dalam perilaku
setelah seseorang merasa melakukan tobat dan berdoa, maka di sana terjadi
distorsi tobat dan doa (Kompas,
13/3-2007). Gerakan ini menandakan bahwa ada upaya untuk menyadari diri
terutama tentang pola perilaku dan kebijakan yang diambil selama ini. Banyak
hal yang perlu dibenahi untuk menata kehidupan bangsa yang lebih baik. Tobat
nasional akan menemukan hasil secara maksimal apabila masing-masing pejabat
berefleksi diri sembari bertanya, apakah saya sebagai penyebab utama dalam
mendatangkan bencana kemerosotan nilai-nilai moral?
Sulit
sekali untuk mencari figur-figur Yunus yang baru di negeri ini, yaitu pribadi
yang berani mengakui seluruh kesalahan dan bersedia ditenggelamkan ke dalam
lautan yang terdalam. Tanda nabi Yunus adalah tanda abadi untuk umat manusia.
Suatu tanda yang menandakan adanya rasa sesal dan dalam lingkup sesal yang sama
kita berani berkata, “hempaskanlah aku dari negeri ini untuk meredam bencana....”***(Valery
Kopong)
0 Komentar