Unordered List

6/recent/ticker-posts

Salib dan Jawaban Sang Pengemis

 


Rumahku berjejer rapih di antara rumah-rumah orang muslim. Memang berat, hidup di lingkungan Tangerang dan Banten umumnya yang dikenal sebagai kota santri dan Islam militan. Hal ini nampak ketika kita berdoa rosario atau ibadat lainnya, sering dibatasi warga dengan alasan mengganggu ketenangan. Memang pada awalnya sulit untuk membangun komunikasi dengan mereka tetapi pelan namun pasti, pada akhirnya mereka mengetahui tentang kehidupan orang-orang katolik umumnya.  Berdoa dari satu rumah ke rumah yang lain adalah hal lumrah dan mungkin ini mengadopsi kehidupan Gereja perdana yang mementingkan kebersamaan dan upaya membangun komunikasi.

Saya baru merasakan hidup kekatolikkan ketika berada di Jakarta dan Tangerang. Mengapa? Hidup di daerah yang minoritas katolik menjadikan komunitas katolik lebih hidup dan terus membangun persaudaraan dalam terang iman akan Yesus. Kalau sebelumnya saya lahir, hidup dan dibesarkan di alam Flores dengan mayoritas Katolik, sepertinya saya tidak mengalami tantangan yang berarti dan kurang adanya solidaritas kekatolikan terutama pada saat-saat kritis. Saya masih ingat baik ketika anggota lingkungan kami mengalami musibah kematian, warga katolik memainkan peranan penting sebagai cara sederhana dalam meringankan beban bagi keluarga yang ditinggalkan. Semua ini dilakukan karena masing-masing kami mengantongi identitas sebagai katolik dan terlebih karena Yesus yang kami imani.

Yesus menjadi juru utama yang mempertemukan dan menyatukan orang-orang dari latar belakang budaya dan etnis yang berbeda-beda. Saya bisa mengenal teman-teman dari Jawa, Batak, Sulawesi, dan Ambon yang membentuk satu komunitas, sebuah Indonesia mini dalam sebuah lingkungan doa. Seperti pada kehidupan Gereja perdana yang lebih menampilkan kebersamaan dan memangkas egoisme serta mendobrak ego sektoral, demikian juga komunitas Katolik yang kami bangun dengan susah payah.

 

Awal mula membangun paguyuban

 

          Ketika perumahan yang saya tempati itu baru dibangun sekitar 8 tahun yang lalu, agak sedikit kendala awal yang dihadapi untuk menghimpun orang-orang Katolik. Satu persatu rumah saya datangi sambil melihat identitas rumah. Kalau melihat tulisan arab yang terpampang di dinding berarti rumah itu adalah rumah orang muslim. Apabila di dinding rumah  itu terpampang salib kayu tanpa tubuh Kristus yang tersalib maka saya berkesimpulan bahwa rumah itu rumah orang Kristen Protestan. Giliran berikut adalah melihat rumah dengan salib dan tubuh Kristus tergantung di atasnya maka semakin meyakinkan saya untuk mendekati rumah itu untuk diajak berkumpul dan membentuk kelompok doa.

          Memang tidak sulit mencari rumah orang katolik. Salib telah menjadi identitas diri dan sekaligus memberi afirmasi bahwa kehidupan yang dijalani ini juga merupakan sebuah salib yang harus dipikul. Salib tidak hanya memperlihatkan ketakberdayaan Allah tetapi dibalik ketakberdayaan itu, Allah mau membuktikan keperkasaan dan kemuliaan-Nya untuk membangkitkan Putera-Nya dari alam maut. Tanpa salib, keselamatan pun tak mungkin terjadi dari liang kubur batu pembaringan sementara bagi Yesus. “Tanpa Jumat Agung, tidak mungkin terbersit Minggu Paskah.”    Inilah satu rangkaian kisah bermakna yang menawarkan jalan keselamatan. Keselamatan itu nampak melalui proses yang sangat panjang bahkan meletihkan. Tetapi karena Yesus taat menjalaninya maka tercipta ruang keselamatan yang telah dan akan menemani keberadaan manusia.

          Dalam kehidupan sehari-hari, salib sepertinya menjadi identitas yang memberi makna bagi kehidupan setiap orang kristiani. Di tengah masyarakat plural, salib tidak hanya dilihat sebagai pemersatu kelompok minoritas Katolik tetapi dilihat oleh kelompok lain sebagai isyarat untuk perlu dijauhi. Tetapi apakah dengan memancangkan salib di dinding rumah atau persis di daun pintu rumah menjadikan identitas itu lebih bermakna atau menjauhkan mereka yang tidak sejalan salib dengan kita? Suatu sore, diujung senja yang sedikit dibalut kabut tipis, beberapa pengemis datang ke rumahku untuk meminta uang untuk makan.   Hari pertama saya layani. Tetapi semakin saya layani, cukup banyak orang yang datang pada saya.

          Untuk meredam kebanjiran pengemis ini saya kemudian memasang salib, persis di depan pintu rumah. Saya punya satu niat, mudah-mudahan para pengemis yang kebanyakan muslim ini bisa menjauh dari rumahku dan tidak meminta sesuatu lagi. Setelah salib dipasang, mereka tahu bahwa itu rumah orang Katolik tetapi bukan berarti menyurutkan niat mereka untuk meminta. Hari pertama, kedua dan seterusnya mereka terus meminta dan pada suatu kesempatan saya bertanya pada pengemis. Mengapa kamu datang terus ke sini, sementara di pintu rumahku sudah terpasang salib? Dengan santai ia menjawab, ”kami tahu bahwa Dia adalah nabi Isa yang tersalib.” Dia tersalib bagi kami yang menderita ini.”

          Jawaban si miskin ini semakin mengharukan saya. Sepertinya ia paham tentang teologi terlibat atau teologi keberpihakkan. Memang, ketika Yesus datang ke dunia bukan untuk orang Katolik saja tetapi untuk umat manusia. Itu berarti bahwa setiap orang, siapapun dia, tetap meyakini Dia sebagai Mesias, pembebas umat manusia dari pelbagai tekanan hidup.  Si miskin yang tengah menjerit merupakan bukti nyata bahwa keadaan hidup belum pulih dari pelbagai tekanan, baik ekonomi, sosial dan politik. Karena itu keberadaan salib di tengah masyarakat seakan terus membuka ingatan kolektif akan sang juru selamat yang siap memberikan jalan keluar.   Memahami salib berarti memahami eksistensi manusia yang tidak luput dari balutan penderitaan. Salib selalu memberikan litani perjalanan hidup yang penuh liku dan perjuangan.

          Saya sendiri terkadang merasa salah ketika salib digunakan sebagai pemberi identitas sekaligus isyarat untuk mengusir orang yang tidak seiman dan seagama dengan saya. Tetapi kehadiran para pengemis  yang menatap salib, telah membuka ruang keberbedaan bahwa salib itu sendiri tidak menjadi kepunyaan orang-orang Katolik tetapi lebih dari itu salib bersolider dengan mereka yang setiap hari mengais rejeki di tong-tong sampah. Mungkinkah  dibalik tong-tong sampah yang terus dikerubuti lalat, orang-orang miskin masih bisa menatap salib, menatap harapan akan datangnya hidup baru yang lebih bermartabat?***(Valery Kopong)

 

Posting Komentar

0 Komentar