Rumahku
berjejer rapih di antara rumah-rumah orang muslim. Memang berat, hidup di
lingkungan Tangerang dan Banten umumnya yang dikenal sebagai kota santri dan
Islam militan. Hal ini nampak ketika kita berdoa rosario atau ibadat lainnya,
sering dibatasi warga dengan alasan mengganggu ketenangan. Memang pada awalnya
sulit untuk membangun komunikasi dengan mereka tetapi pelan namun pasti, pada
akhirnya mereka mengetahui tentang kehidupan orang-orang katolik umumnya. Berdoa dari satu rumah ke rumah yang lain
adalah hal lumrah dan mungkin ini mengadopsi kehidupan Gereja perdana yang
mementingkan kebersamaan dan upaya membangun komunikasi.
Saya
baru merasakan hidup kekatolikkan ketika berada di Jakarta dan Tangerang.
Mengapa? Hidup di daerah yang minoritas katolik menjadikan komunitas katolik
lebih hidup dan terus membangun persaudaraan dalam terang iman akan Yesus.
Kalau sebelumnya saya lahir, hidup dan dibesarkan di alam Flores dengan
mayoritas Katolik, sepertinya saya tidak mengalami tantangan yang berarti dan
kurang adanya solidaritas kekatolikan terutama pada saat-saat kritis. Saya
masih ingat baik ketika anggota lingkungan kami mengalami musibah kematian,
warga katolik memainkan peranan penting sebagai cara sederhana dalam
meringankan beban bagi keluarga yang ditinggalkan. Semua ini dilakukan karena
masing-masing kami mengantongi identitas sebagai katolik dan terlebih karena
Yesus yang kami imani.
Yesus
menjadi juru utama yang mempertemukan dan menyatukan orang-orang dari latar
belakang budaya dan etnis yang berbeda-beda. Saya bisa mengenal teman-teman
dari Jawa, Batak, Sulawesi, dan Ambon yang membentuk satu komunitas, sebuah
Indonesia mini dalam sebuah lingkungan doa. Seperti pada kehidupan Gereja
perdana yang lebih menampilkan kebersamaan dan memangkas egoisme serta
mendobrak ego sektoral, demikian juga komunitas Katolik yang kami bangun dengan
susah payah.
Awal
mula membangun paguyuban
Ketika perumahan yang saya tempati itu baru dibangun
sekitar 8 tahun yang lalu, agak sedikit kendala awal yang dihadapi untuk
menghimpun orang-orang Katolik. Satu persatu rumah saya datangi sambil melihat
identitas rumah. Kalau melihat tulisan arab yang terpampang di dinding berarti
rumah itu adalah rumah orang muslim. Apabila di dinding rumah itu terpampang salib kayu tanpa tubuh Kristus
yang tersalib maka saya berkesimpulan bahwa rumah itu rumah orang Kristen
Protestan. Giliran berikut adalah melihat rumah dengan salib dan tubuh Kristus
tergantung di atasnya maka semakin meyakinkan saya untuk mendekati rumah itu
untuk diajak berkumpul dan membentuk kelompok doa.
Memang tidak sulit mencari rumah orang katolik. Salib telah
menjadi identitas diri dan sekaligus memberi afirmasi bahwa kehidupan yang
dijalani ini juga merupakan sebuah salib yang harus dipikul. Salib tidak hanya
memperlihatkan ketakberdayaan Allah tetapi dibalik ketakberdayaan itu, Allah
mau membuktikan keperkasaan dan kemuliaan-Nya untuk membangkitkan Putera-Nya
dari alam maut. Tanpa salib, keselamatan pun tak mungkin terjadi dari liang
kubur batu pembaringan sementara bagi Yesus. “Tanpa Jumat Agung, tidak mungkin
terbersit Minggu Paskah.” Inilah satu
rangkaian kisah bermakna yang menawarkan jalan keselamatan. Keselamatan itu
nampak melalui proses yang sangat panjang bahkan meletihkan. Tetapi karena
Yesus taat menjalaninya maka tercipta ruang keselamatan yang telah dan akan
menemani keberadaan manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari, salib sepertinya menjadi
identitas yang memberi makna bagi kehidupan setiap orang kristiani. Di tengah
masyarakat plural, salib tidak hanya dilihat sebagai pemersatu kelompok
minoritas Katolik tetapi dilihat oleh kelompok lain sebagai isyarat untuk perlu
dijauhi. Tetapi apakah dengan memancangkan salib di dinding rumah atau persis di
daun pintu rumah menjadikan identitas itu lebih bermakna atau menjauhkan mereka
yang tidak sejalan salib dengan kita? Suatu sore, diujung senja yang sedikit
dibalut kabut tipis, beberapa pengemis datang ke rumahku untuk meminta uang
untuk makan. Hari pertama saya layani.
Tetapi semakin saya layani, cukup banyak orang yang datang pada saya.
Untuk meredam kebanjiran pengemis ini saya kemudian
memasang salib, persis di depan pintu rumah. Saya punya satu niat,
mudah-mudahan para pengemis yang kebanyakan muslim ini bisa menjauh dari
rumahku dan tidak meminta sesuatu lagi. Setelah salib dipasang, mereka tahu
bahwa itu rumah orang Katolik tetapi bukan berarti menyurutkan niat mereka
untuk meminta. Hari pertama, kedua dan seterusnya mereka terus meminta dan pada
suatu kesempatan saya bertanya pada pengemis. Mengapa kamu datang terus ke
sini, sementara di pintu rumahku sudah terpasang salib? Dengan santai ia
menjawab, ”kami tahu bahwa Dia adalah nabi Isa yang tersalib.” Dia tersalib
bagi kami yang menderita ini.”
Jawaban si miskin ini semakin mengharukan saya. Sepertinya
ia paham tentang teologi terlibat atau teologi keberpihakkan. Memang, ketika
Yesus datang ke dunia bukan untuk orang Katolik saja tetapi untuk umat manusia.
Itu berarti bahwa setiap orang, siapapun dia, tetap meyakini Dia sebagai
Mesias, pembebas umat manusia dari pelbagai tekanan hidup. Si miskin yang tengah menjerit merupakan
bukti nyata bahwa keadaan hidup belum pulih dari pelbagai tekanan, baik ekonomi,
sosial dan politik. Karena itu keberadaan salib di tengah masyarakat seakan
terus membuka ingatan kolektif akan sang juru selamat yang siap memberikan
jalan keluar. Memahami salib berarti
memahami eksistensi manusia yang tidak luput dari balutan penderitaan. Salib
selalu memberikan litani perjalanan hidup yang penuh liku dan perjuangan.
Saya sendiri terkadang merasa salah ketika salib digunakan
sebagai pemberi identitas sekaligus isyarat untuk mengusir orang yang tidak
seiman dan seagama dengan saya. Tetapi kehadiran para pengemis yang menatap salib, telah membuka ruang
keberbedaan bahwa salib itu sendiri tidak menjadi kepunyaan orang-orang Katolik
tetapi lebih dari itu salib bersolider dengan mereka yang setiap hari mengais
rejeki di tong-tong sampah. Mungkinkah
dibalik tong-tong sampah yang terus dikerubuti lalat, orang-orang miskin
masih bisa menatap salib, menatap harapan akan datangnya hidup baru yang lebih
bermartabat?***(Valery Kopong)
0 Komentar