“Langit siang itu bagai runtuh. Matahari
menjadi gelap gulita seketika dan orang-orang di sekitarku tak kelihatan lagi
oleh mata ini.” Rintihan Laurens ini mewakili jiwa yang sedang meronta-ronta
untuk ingin kembali melihat dunia ini dengan kedua mata yang didapatkan secara
sempurna dari Tuhan melalui kedua orang tua. Tak hanya Laurens yang merasakan
keterpurukan hidup ini tetapi juga Erna isterinya yang sehari-hari menjadi
teman hidup, turut larut dalam gelapan itu.
Sudah
tiga tahun ini Laurens dan Erna membangun rumah tangga. Ikrar setia mereka di
hadapan imam Katolik di sebuah paroki di Solo. Janji sehidup semati menjadi
taruhan hidup dan janji itu dibuktikan dalam tindakan harian. Laurens bekerja
di sebuah Bank swasta dan reputasinya baik sehingga mendapatkan posisi yang
bagus di bank itu. Hari-hari dilaluinya seiring dengan perputaran roda
kehidupan. Sementara Erna isterinya bekerja sebagai guru di salah satu sekolah
SMK swasta.
Mereka terlihat kompak dan saling mendukung
satu sama lain. Namun dalam perjalanan waktu, Laurens sering mengeluh tentang
penglihatannya yang semakin kabur. Beberapa kali ia mencoba untuk berkonsultasi
dengan dokter mata untuk memastikan kesehatan matanya. Dari hasil pemeriksaan
matanya, dokter memberikan saran agar mulailah sekarang berusaha untuk memulai
mengaktifkan intra peraba.
“Kondisi matamu semakin rusak dan tak lama lagi
akan terancam buta,” kata dokter
“Terancam buta? Tanyaku penuh ingin tahu
“Ya, terancam buta karena ini masalah genetika
yang tidak bisa diobati secara medis,” jelas dokter penuh keramahan
Sepertinya
aku tersambar petir mendengar apa kata dokter. Penglihatanku semakin hari semakin
buram. Tahun 2020 tepatnya pada bulan Maret, aku terpaksa mengajukan
pengunduran diri dari bank, tempat aku bekerja dengan alasan kesehatan mata
terganggu. Memang berat ketika menuliskan surat pengunduran diri ini karena
konsekuensi yang harus aku tanggung adalah hidup tanpa penghasilan. Hari-hari
hidupku penuh dengan warna ratapan. Tetapi beruntunglah bahwa Erna isteriku
selalu memberikan semangat untuk tetap bangkit dari keterpurukan hidup.
“Masih ingat kisah Bartimeus dalam Injil?”
tanya Erna isterinya
“Ya, masih ingat baik,” jawabku seadanya
Erna mencoba untuk meyakinkan aku dengan
bertitik tolak pada pengalaman iman Bartimeus. Dalam Injil diceritakan bahwa
Bartimeus yang buta matanya mendengar bahwa Yesus akan melewati jalan, tempat
Bartimeus berada. “Yesus Anak Daud, kasihanilah aku,” teriak Bartimeus. Dari
sisi penglihatan, Bartimeus sejak dilahirkan dalam keadaan buta. Bartimeus tak
tahu tentang dunia sekitar karena berada dalam kegelapan. Namun mengapa
Bartimeus bisa tahu tentang Tuhan? Ya, mata boleh buta tetapi mata batin tak
pernah buta dan bahkan dari Bartimeuslah kita bisa mengenal salah satu gelar
Yesus sebagai Anak Daud.
“Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku.” Begitulah
teriakan Bartimeus saat tahu bahwa Yesus sedang lewat di jalan. Gema rintihan
permintaan yang terjadi dua ribuan tahun yang lalu menjadi kisah menarik dan
tak pernah luntur oleh basuhan air zaman. Namun justeru di saat-saat di mana
pengalaman keterpurukan menghampiriku, cerita tentang Bartimeus ini memberikan
energi untuk menjalani hidup ini.
Ya, hidup dan kehidupan ini terus berjalan.
Sebagai manusia harus selalu siap untuk mengalami setiap perubahan yang
terjadi. Seperti air sungai yang mengalir, tak pernah mengalir pulang namun
tetap mengalir sepanjang waktu. Demikian juga kehidupan, terus mengalir
mengitari lorong waktu dan apa yang telah terjadi tak akan pernah terulang
kembali.
“Apakah hidupku ini masih berguna?” Keluhku di
siang bolong penuh panas terik ini. Memang, terkadang dalam saat-saat seperti
ini ketika memangku derita buta ini, aku coba untuk memaknai kembali makna
hidup sesungguhnya. Aku masih ingat khotbah seorang imam saat aku menghadiri
perayaan Ekaristi di salah satu paroki di Solo. Menurutnya, orang yang beriman
akan Kristus selalu memandang bahwa
“Hidup adalah sebuah anugerah. Dunia
adalah medan bakti dan mati adalah awal mula untuk menemukan hidup
abadi. Namun bagi mereka yang tidak beriman memandang bahwa hidup adalah
penyakit. Dunia baginya adalah sebuah penyakit dan mati adalah jalan keluar
terbaik untuk menemukan hidup abadi.”
Dalam kondisiku yang buta saat ini, tetap saya
mensyukuri hidup sebagai sebuah anugerah. Dulu, semasa mataku masih normal dan
memandang dunia ini, aku dan istri hidup berkecukupan dengan gajiku yang
lumayan mencukupi ketika bekerja di sebuah bank swasta. Ketika buta, aku
menggeluti dunia pijat refleksi. Tuhan memberikan aku anugerah untuk bisa
memijat refleksi dan hampir setiap hari, selalu saja banyak langganan. Erna
isteriku selalu membuka informasi terkait pijat refleksi melalui media sosial.
Aku dan isteriku bisa hidup dari penghasilan menjadi tukang pijat
refleksi.
Pada titik nadir ini aku memandang makna kehidupan
ini bukan terletak pada tempat mana saya bekerja dan dalam kondisi tubuh yang
normal atau tidak, namun mengungkapkan syukur pada Tuhan dan berani berdamai
dengan diri merupakan cara sederhana untuk menerima segala kenyataan hidup.
Hidup, dalam kondisi apa pun merupakan ruang refleksi tak bertepi, seperti
menggali sumur tanpa dasar.***(Valery Kopong)
0 Komentar