Unordered List

6/recent/ticker-posts

Bartimeus

 


“Langit siang itu bagai runtuh. Matahari menjadi gelap gulita seketika dan orang-orang di sekitarku tak kelihatan lagi oleh mata ini.” Rintihan Laurens ini mewakili jiwa yang sedang meronta-ronta untuk ingin kembali melihat dunia ini dengan kedua mata yang didapatkan secara sempurna dari Tuhan melalui kedua orang tua. Tak hanya Laurens yang merasakan keterpurukan hidup ini tetapi juga Erna isterinya yang sehari-hari menjadi teman hidup, turut larut dalam gelapan itu.

 Sudah tiga tahun ini Laurens dan Erna membangun rumah tangga. Ikrar setia mereka di hadapan imam Katolik di sebuah paroki di Solo. Janji sehidup semati menjadi taruhan hidup dan janji itu dibuktikan dalam tindakan harian. Laurens bekerja di sebuah Bank swasta dan reputasinya baik sehingga mendapatkan posisi yang bagus di bank itu. Hari-hari dilaluinya seiring dengan perputaran roda kehidupan. Sementara Erna isterinya bekerja sebagai guru di salah satu sekolah SMK swasta.  

Mereka terlihat kompak dan saling mendukung satu sama lain. Namun dalam perjalanan waktu, Laurens sering mengeluh tentang penglihatannya yang semakin kabur. Beberapa kali ia mencoba untuk berkonsultasi dengan dokter mata untuk memastikan kesehatan matanya. Dari hasil pemeriksaan matanya, dokter memberikan saran agar mulailah sekarang berusaha untuk memulai mengaktifkan intra peraba.

“Kondisi matamu semakin rusak dan tak lama lagi akan terancam buta,” kata dokter

 “Terancam buta? Tanyaku penuh ingin tahu

“Ya, terancam buta karena ini masalah genetika yang tidak bisa diobati secara medis,” jelas dokter penuh keramahan

 Sepertinya aku tersambar petir mendengar apa kata dokter. Penglihatanku semakin hari semakin buram. Tahun 2020 tepatnya pada bulan Maret, aku terpaksa mengajukan pengunduran diri dari bank, tempat aku bekerja dengan alasan kesehatan mata terganggu. Memang berat ketika menuliskan surat pengunduran diri ini karena konsekuensi yang harus aku tanggung adalah hidup tanpa penghasilan. Hari-hari hidupku penuh dengan warna ratapan. Tetapi beruntunglah bahwa Erna isteriku selalu memberikan semangat untuk tetap bangkit dari keterpurukan hidup.

“Masih ingat kisah Bartimeus dalam Injil?” tanya Erna isterinya

“Ya, masih ingat baik,” jawabku seadanya

Erna mencoba untuk meyakinkan aku dengan bertitik tolak pada pengalaman iman Bartimeus. Dalam Injil diceritakan bahwa Bartimeus yang buta matanya mendengar bahwa Yesus akan melewati jalan, tempat Bartimeus berada. “Yesus Anak Daud, kasihanilah aku,” teriak Bartimeus. Dari sisi penglihatan, Bartimeus sejak dilahirkan dalam keadaan buta. Bartimeus tak tahu tentang dunia sekitar karena berada dalam kegelapan. Namun mengapa Bartimeus bisa tahu tentang Tuhan? Ya, mata boleh buta tetapi mata batin tak pernah buta dan bahkan dari Bartimeuslah kita bisa mengenal salah satu gelar Yesus sebagai Anak Daud.

“Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku.” Begitulah teriakan Bartimeus saat tahu bahwa Yesus sedang lewat di jalan. Gema rintihan permintaan yang terjadi dua ribuan tahun yang lalu menjadi kisah menarik dan tak pernah luntur oleh basuhan air zaman. Namun justeru di saat-saat di mana pengalaman keterpurukan menghampiriku, cerita tentang Bartimeus ini memberikan energi untuk menjalani hidup ini.

Ya, hidup dan kehidupan ini terus berjalan. Sebagai manusia harus selalu siap untuk mengalami setiap perubahan yang terjadi. Seperti air sungai yang mengalir, tak pernah mengalir pulang namun tetap mengalir sepanjang waktu. Demikian juga kehidupan, terus mengalir mengitari lorong waktu dan apa yang telah terjadi tak akan pernah terulang kembali.

“Apakah hidupku ini masih berguna?” Keluhku di siang bolong penuh panas terik ini. Memang, terkadang dalam saat-saat seperti ini ketika memangku derita buta ini, aku coba untuk memaknai kembali makna hidup sesungguhnya. Aku masih ingat khotbah seorang imam saat aku menghadiri perayaan Ekaristi di salah satu paroki di Solo. Menurutnya, orang yang beriman akan Kristus selalu memandang bahwa  “Hidup adalah sebuah anugerah. Dunia  adalah medan bakti dan mati adalah awal mula untuk menemukan hidup abadi. Namun bagi mereka yang tidak beriman memandang bahwa hidup adalah penyakit. Dunia baginya adalah sebuah penyakit dan mati adalah jalan keluar terbaik untuk menemukan hidup abadi.”

Dalam kondisiku yang buta saat ini, tetap saya mensyukuri hidup sebagai sebuah anugerah. Dulu, semasa mataku masih normal dan memandang dunia ini, aku dan istri hidup berkecukupan dengan gajiku yang lumayan mencukupi ketika bekerja di sebuah bank swasta. Ketika buta, aku menggeluti dunia pijat refleksi. Tuhan memberikan aku anugerah untuk bisa memijat refleksi dan hampir setiap hari, selalu saja banyak langganan. Erna isteriku selalu membuka informasi terkait pijat refleksi melalui media sosial. Aku dan isteriku bisa hidup dari penghasilan menjadi tukang pijat refleksi.   

Pada titik nadir ini aku memandang makna kehidupan ini bukan terletak pada tempat mana saya bekerja dan dalam kondisi tubuh yang normal atau tidak, namun mengungkapkan syukur pada Tuhan dan berani berdamai dengan diri merupakan cara sederhana untuk menerima segala kenyataan hidup. Hidup, dalam kondisi apa pun merupakan ruang refleksi tak bertepi, seperti menggali sumur tanpa dasar.***(Valery Kopong)  

Posting Komentar

0 Komentar