Unordered List

6/recent/ticker-posts

Kemilau Cahaya Memancar dari Lereng Ile Boleng, Motin Tobi Oringbele

 



Oring Bele…. Sebuah nama kampung di kecamatan Witihama Adonara Kabupaten Flores Timur. Mendengar nama Oring Bele, banyak orang mengarahkan pikiran pada desa Oring Bele yang terletak di kompleks Witihama (kampung besar, yang terdiri dari lima desa yaitu Lamabelawa, Werang Gere, Pledo, Watoone dan Oring Bele). Namun, Oring Bele yang satu ini, merupakan bagian dari pemerintahan desa Tuwagoetobi kecamatan Witihama  yang letaknya cukup jauh dari kesunyian , sebuah kampung kecil-mungil persis di lereng gunung Boleng, dengan titik ketinggian kurang lebiih 400 meter di atas permukaan laut (dalam perhitungan Petrus Seran Goran menggunakan tool  google earth), sehingga kebanyakan orang menyebutnya dengan nama Oring Bele Gunung, untuk membedakan desa Oring Bele yang lebih dulu ada di Witihama.


            Semenjak kedatangan pertama Ama Asan Boli Aman dan keluarga dari Lamalota kecamatan Adonara Timur, disusul Ama Mado Geli serta beberapa keluarga lainnya, kehidupan di dusun nan sunyi pun mulai bergeliat. Perkembangan yang paling nyata, lahirlah generasi demi generasi juga membentuk keluarga baru, sehingga saat ini Oring Bele sudah menjadi RT tersendiri yaitu RT 16 dusun Lewoblolon dengan jumlah KK sebanyak 33 serta jumlah penduduk sekitar 200an orang. Pada awalnya, kampung kecil ini diberikan nama Motin Tobi, namun mengalami perubahan nama menjadi Oring Bele (Gunung).

            Oring Bele, letaknya sungguh terpencil, jauh dari jangkauan akses transportasi karena tidak ada jalur jalan raya yang dirintis. Listrik dan air bersih tidak ada, sehingga masyarakat memanfaatkan air hujan atau mengambil air sumur di pantai yang jaraknya lumayan jauh. Ke mana-mana harus ditempuh dengan jalan kaki, ke Waiwerang, ibu kota kecamatan Adonara Timur untuk bebelanja kebutuhan hidup, maka harus jalan kaki ke Honihama sejauh 5 km dengan jarak tempuh satu setengah jam lalu bisa naik oto. Barang-barang kebutuhan hidup pun harus dipikul, termasuk bahan bangunan semen, seng dan kayu, dengan mengandalkan sifat gotong royong untuk mengangkutnya. Lalu bagaimana akses untuk pendidikan? Jangan tanya lagi, banyak anak usia sekolah tidak bisa mengikuti pendidikan dasar, karena letak sekolah yang jauh. Untuk membangun sebuah SD pun belum memenuhi syarat. Satu-satunya jalan, bersekolah di SDK Honihama, namun cuma segelintir, dapat dihitung dengan jari. “Kami sekolah di SDK Honihama cuma sedikit saja dan menginap di rumah keluarga sampai tamat”, kenang Ama Lamber Lamen. Lebih banyak tidak bersekolah, mengikuti orang tuanya bekerja di ladang atau ketika memasuki usia kerja, merantau ke daerah lain termasuk ke Malaysia. Ada juga yang bersekolah di desa lain, diantaranya, Kamiilus Wayong, sekolah  SD di Lamalota sampai menghantanya menjadi Perawat dan kini bertugas di Sumba Barat. Kariernya cukup lumayan, karena sempat menjadi Kepala Puskesmas Mamboro, Sumba Tengah. Menurut penuturan Ama Lamen, sekitar awal tahun 1980an baru anak-anak mulai ramai bersekolah di SDK Honihama, tetapi setiap hari pulang-pergi jalan kaki, seperti Juli, Nela, Liat dan beberapa lagi, namun ada juga yang tidak tamat karena berbagai factor (mungkin salah satunya jaraknya yang lumayan jauh).




            Perlahan tapi pasti, Oring Bele mulai berkembang, bergeliat  tumbuh mengikuti arus jaman. Tahun 1968, Gereja pun mulai hadir di sana, dengan guru agamanya Pankrasius Lama Tokan, selaku  Ketua Dewan Stasi St. Yudokus Honihama sehingga  dibangun  Kapela St. Pankrasius. Untuk memenuhi kebutuhan air minum, dibangun bak penampung, saat Kades dijabat David Kopong Woren. Jalan pun dirintis masuk ke Oring Bele melalui program PNPM mengikuti jalur Kung One (dekat pelabuhan Feri Dery). Jalan diusulkan oleh Mateus Orong Tewa, pegiat LSM yang kini menjabat Kaur Kemasyarakatan Desa Tuwagoetobi. Listrik pun masuk melalui program solar sell sumbangan Bapak Gubernur NTT, Fransiskus Lebu Raya dan kini PLN sudah masuk kampung.

            Namun kerinduan memilki sekolah terus bergalayut di hati sanubari masyarakat. Diskusi pun dibangun diantara stakeholders  Tuwagoetobi, yaitu  tokoh adat, tokoh pendidikan, tokoh agama  dan pemerintah. Niat pun dirancang. Kamilus Tupen Jumat, Ketua Komite SDK Honihama, menggagas cara paskah bersama. Komunikasi pun dibangun dengan pihak berwenang. Thomas Tuwa Rian, Kepala  Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kecamatan Witihama berkoordinasi dengan Anton Bapa Tokan sebagai Pengawas TK/SD Kecamatan Witihama dan Kepala Sub Dinas TK/SD) pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Flores Timur, Drs. Bernadus Beda Keda. Pada tanggal 28 Maret 2005,  diselenggarakan acara yang populer dikenal dengan nama Paskah Pendidikan yang dihadiri umat Katolik dan Islam di Tuwagoetobi  serta Pejabat Pemerintah di Basa Orong Tewa Lewowerang.


                Sebelum acara Paskah bersama, Bernadus Beda Keda, bersama istri, Paulina Palan Bolen, menemui Bapak Romanus Orong Tewa, salah satu tokoh adat suku/dusun  Lewowerang yang merupakan tempat perhelatan acara paskah bersama guna meminta petunjuk. “Anak… silahkan mengurus pendidikan di lewo tanah ini dengan sebaik-baiknya”, pesan  Bapak Orong Tewa, yang juga mantan Ketua BP3 SDK Honihama era akhir 1970an s.d. akhir 1980an.  

            Saat acara, Bernadus Beda Keda memaparkan Program Nasional Wajib Belajar Pendidikan Dasar (WAJAR DIKDAS) 9 tahun/SD,SMP Kala itu angka anak putus sekolah SD/SMP tinggi, angka melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya rendah, banyak anak usia SD tidak bersekolah karena jangkauan ke sekolah-sekolah sangat jauh. Itulah kondisi realitas Flores Timur pada umumnya juga di Tuwagoetobi.  Dengan demikian,  untuk  menjawab Program Wajar Dikdas 9 tahun, perlu perluasan akses seperti pada tingkat SD,  sehingga dibuka Sekolah Filial atau Kelas Jauh dan bernaung di bawah sebuah sekolah induk. Pada kesempatan yang sangat berharga itu, diwacanakan membuka beberapa jenjang pendidikan baik reguler maupun SMP se-Atap SD, bahkan SMP Terbuka. Dengan yang ada,  maka akses pendidikan di Witihama harus dibuka untuk melayani kebutuhan anak-anak usia sekolah demi menjawab Program Wajar Dikdas 9 tahun. Untuk itu,  SDI Waiwuring dibuka Filial Meko, SMPN Satap dengan SDI Riangduli. Forum pun menantang pa Bernard,  sebagai anak lewo tanah Witihama, apakah bisa diupayakan membangun SD kecil/Filial di Oring Bele Gunung dengan jumlah 20 KK? Tanpa konsultasi langsung dengan Kadis Pendidikan Kabupaten Flotim (Bapak Frans Julian Tukan), Pa Bernard langsung mengambil keputusan teknis di lapangan  untuk membangun SD Filial Oring Bele Gunung. Saat itu, memerintahkan Kepala SDK Honihama, Gabriel Gawe Lela,  agar berinduk di SDK Honihama dan bernaung di bawah Yayasan Persekolahan Umat Katolik Flores Timur (Yapersuktim) serta  memberikan kepastian bahwa  pada tahun ajaran baru 2005/2006 kegiatan belajar mengajar (KBM) dimulai. Soal dengan Yapersuktim dan urusan teknis lainnya menjadi tanggung jawab Pa Bernard.

Gayung pun bersambut. Kerinduan dan keinginan seluruh masyarakat desa Tuwagoetobi untuk memiliki SD Kecil/Filial di Oring Bele mendapat sambutan dari pihak Pemerintah kabupaten Flotim melalui Kepala Sub Dinas TK/SD, Bernardus Beda Keda   Layar sudah berkembang. Deklarasi SDI Filial harus berproses lanjut. Di bawah kendali Kepala desa Tuwagoetobi, Petrus Pehan Peran, pensiunan TNI-AD (Bala Ola, nama resmi di ijazah), masyarakat desa Tuwagoetobi bergotong royong membangun gedung pada momentum bulan bhakti Gotong Royong yang diselenggarakan bulan Mei. Masyarakat membangun tiga ruang kelas darurat,  namun sebelumnya bersekolah menggunakan ruangan Kapela.  Kasek Gabriel Gawe Lela, selaku sekolah induk, menugaskan guru yang mempunyai pengabdian yang sangat luar biasa yaitu Lamber Rugi Nuhon dan Benediktus Rugi Nuhon untuk mengabdi di SD Filial Oring Bele. Lamber Rugi Nuhon, mengabdi sampai sekarang (2022) dan Benediktus Rugi, setalah menjadi PNS, mutasi ke SD Bloto Adonara Barat sampai meninggal dunia. Sebanyak 14 anak dipindahakan  dari SDK Honihama dan 5 anak yang telah drop out dari SDK Honihama menjadi murid perdana SD Filiai pada jenjang kelas I, II dan III.  Fasilitas  yang digunakan sangat kekurangan. Pa Bernard menyumbang satu mesin ketik, bangku sekolah dari SDK Honihama dan sebagian dibangun secara swadaya. Bapak Thomas Tuwa dan Anton Bapa Tokan menyumbang buku-buku bacaan sebagai referensi belajar dan menyumbang jam dinding.  Dan tepatnya, tanggal 25 Juli 2005, proses belajar mengajar secara resmi dimulai yang ditandai dengan apel bersama Guru dan murid SDK Honihama

Pada  tahun ajaran baru (2005/2006), Kepala Subdinas Pendidikan TK/SD meminta Kepala UTPD Witihama untuk rapat evaluasi Ebtanas yang wajib diikuti oleh para Kepala Sekolah dan Guru-Guru  kelas Vl bertempat SD Filial Oring Bele, dengan tujuan agar dapat melihat situasi dan realitas yang ada di Oring Bele. Semuanya begitu terharu dan bahagia karena anak-anak  di kampung yang sunyi bisa bersekolah di tempat. Prinsipnya, "Melayani yang tak terlayani, Menjangkaui yang tak terjangkau”, ungkap Bernard. Dan ada satu semangat dan motivasi kepada masyarakat di Oring Bele secara resmi saat itu, "Bahwa sekolah Filial sudah kita mulai hari ini, dan hari ini juga bapak dusun menginvetarisir pasangan usia subur supaya setiap tahun harus rajin melahirkan, kalau tidak berarti sekolah ini bisa ditutup karena anak usia sekolah tidak ada lagi saat itu”, tutur Bernard berseloroh dan disambut tepuk tangan yang meriah.

Proses belajar mengajar terus berjalan sebagaimana mestinya. Dengan upaya berbagai pihak mulai dari Oring Bele, Tuwagoetobi, Witihama dan Flores Timur, maka melalui Keputusan Bupati Flores Timur Nomor: 200 Tahun 2010 tanggal 5 Agustus 2010, status SD Filial Oring Bele Gunung secara resmi berdiri sendiri dengan nomenklatur SDN Oring Bele Gunung, dan pada bulan April 2011, keputusan diserahkan oleh Kadis P dan K  Flotim, Drs. Bernadus Beda Keda, sekaligus melantik Kasek  pertama yaitu Nikolaus Lanang Beda.   


Dalam sambutannya, Kadis mengatakan, "Kehadiran SD Filial ini adalah upaya kita semua dan kita semua harus merawatnya. SD ini sewaktu berstatus Filial, sudah mendapat bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) melalui sekolah induk untuk  membangun ruang kelas baru. Dalam proses perjalanan, sekolah mendapat kawalan masyarakat dan pemerintah baik pemerintah kabupaten, kecamatan bahkan desa maka pada tahun 2010,  SD Filial Oringbele berubah status dengan nomenklatur SDN Oring Bele Gunung.  “Secara pribadi sebagai putera Witihama punya kebahagiaan tersendiri karena bersama masyarakat, tokoh adat, pemerintah kecamatan, pemerintah Desa menggagas sebuah ide brilian saat itu menghadirkan sebuah Lembaga Pendidikan di Lewotana untuk anak-anak Indonesia yang ada di Oring Bele ini”, tutur Bernard, mantan Guru BK/BP SMAN Lewoleba

            Sementara Gabriel Gawe Lela, Kasek SDK Hoinihama saat dicetuskan berdirinya SD Filial Oring Bele, menuturkan, ketika memantau perkembangan proses belajar mengajar,  masyarakat Oring Bele, sangat antusias datang menjadi murid istimewah, sebagai ungkapan rasa syukur dan bangga atas kehadiran sebuah SD kecil di Oring Bele. Kerinduan berpuluh-puluh tahun, kini sudah terwujud. Salah seorang Tokoh adat, Alumni SDK Honihama dan dijuluki Guru sulung, Bapa Benedktus Borto Tura, tak kuasa menyembuniyikan rasa kagumnya dan berujar, "Gaba, go sampe pi rero ni pete hala bahwa perae Oring Bele ne no'o sekolah. Tapi syukur pi rero ni nala no'o sekolah kae ni. Go leta no jaga ma'a mela- mela". (Gaba, sampai hari ini tidak pernah terlintas dalam pikiran saya, bahwa hari ini di Oring Bele sudah ada sekolah. Syukur, mulai hari ini, sudah ada sekolah maka saya minta jaga dan rawat baik-baik).

             SDN Oring Bele Gunung yang merupakan embrio SD Filial SDK Honihama telah ada. Gedung permanen untuk ruangan belajar telah dibangun dan fasilitas pendukung lainnya yang diadakan melalui DAK pada jaman Pa Bernard sebagai Kadis P dan K dan atas perjuangan seluruh komponen masyarakat pun sudah terwujud. Oring Bele, yang dulu dirasa sangat jauh dijangkaui, hidup dalam suasana terpencil,  jauh dari akses transportasi dan komunikasi, hidup dalam suasana ‘gelap’ di malam sunyi  karena tanpa listrik, kini perlahan menggeliat tumbuh berkembang. Anak-anak usia SD, yang sebelumnya tidak bisa menikmati pendidikan karena jarak jangkauan yang teramat jauh, sangat melelahkan bagi ayunan langkah si bocah cilik sehingga memupus harapan dan semangat untuk menikmati pendidikan, kini dengan  senang bersekolah di tempat.  




Semenjak tahun 2005, anak-anak usia sekolah yang lahir dari rahim Oring Bele, bisa menikmati pendidikan sesuai program pemerintah wajib belajar 9 tahun. Anak-anak usia sekolah yang sebelumnya ibarat hidup dalam suasana ‘kegelapan’ ilmu pengetahuan,  kini, ada cahaya terpancar dari lereng gunung Boleng. Kehadiran sekolah, ibarat seberkas cahaya yang penuh kemiilau, untuk menerangi lorong-lorong kehidupan ke depannya. Sekolah, membuka cakrawala berpikir atas  segala ilmu pengetahuan dan juga memperoleh hak sebagai warga negara Indonesia untuk menikmati  pendidikan sama seperti anak-anak Indonesia lainnya. Kini, alumni, bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Salah satunya, Antonius Mado Geli, kini kuliah di Kota Malang-Jawa Timur. Yustinus Lama Paha, angkatan perdana, kini menjadi operator sekolah sambil mengenyam pendidikan UT jurusan Guru SD. Semoga dari rahim SDN Oring Bele Gunung mampu mendidik dan menuntut manusia menjadi kaya arti dan melahirkan generasi yang mampu berbhakti bagi bangsa, gereja dan negara dengan cara-cara masing-masing, yang dalam filosofi masyarakat Lamaholot, gelekat lewo gewayan tanah.  *** 

                                                                                                        Simon Kopong Seran

keterangan foto

1. Drs.Bernard Beda Keda, mantan  Kasubdin  Dinas  K dan K Kab. Flotim, (kiri), Simon Kopong (kanan). Sosok  Bernard yang membidani  hadirnya SDN Oringbele Gunung. ( foto ist) 

foto 2,3 ,4 dan 5 aktivitas  pembelajaran di SDN Oringbele Gunung. 

Posting Komentar

0 Komentar