Unordered List

6/recent/ticker-posts

Konstruksi Ketahanan Keluarga

 


                                                        Eleonora Yessica Ekayuni

Kebahagiaan anak merupakan tujuan hakiki dari setiap orangtua. Perlindungan terhadap anak ataupun antisipasi atas kekerasan anak sejatinya adalah tanggungjawab lingkungan, tanggungjawab pemerintah, kita semua. Keluarga merupakan penopang dan fondasi kebahagiaan dan masa depan anak. Sayangnya ketahanan keluarga masih dikosntruksikan secara sempit, hal tersebut antara lain dapat dilihat dari naskah RUU Ketahanan Keluarga.

Manusia sebagai individu juga terkonstruksi oleh pemerintah atau kekuasaan saat itu. Sebab kekuasaan yang dimiliki pemerintah dapat mendefinisikan pengetahuan dan memberikan penilaian, mengatur perilaku serta mengontrol bahkan menghukumnya.

Ketika menyusun naskah RUU, pengusul seharusnya menyadari bahwa konsep realitas tidak hanya sebagai realitas individual melainkan realitas sosio-kultural atau realitas sosial. Realitas sosial tidak diperuntukan hanya untuk masyarakat makro atau skala sosial yang besar tetapi juga terhadap kelompok kecil misalnya suami dan istri, orangtua dan anak.

Pasal 25 membagi peran dan fungsi laki-laki dan perempuan dengan sangat sempit. Pasal ini sangat membatasi gerak perempuan untuk mendapatkan hak yang sama di berbagai bidang seperti ekonomi, sosial dan politik dalam masyarakat. Budaya patriakhi dimana istri hanya sebatas pelengkap / subordinat dari suaminya dan menempatkan perempuan lebih ke sektor domestik. Pasal ini berlawanan dengan pasal 24 ayat 3 karena bertentangan dengan asas keadilan dan non-diskriminatif. Yang dikonstruksikan sebagai ketahanan keluarga dalam pasal ini penuh dengan nuansa domentikasi perempuan yang sebenarnya telah dilalui perempuan Indonesia sebelum era emansipasi. Berdasarkan teori Gergen (1985), pendekatan social constructionism memiliki prinsip dasar yaitu adanya kekhususan secara historis dan kultural. Jika ditarik mundur secara sejarah, sebelum adanya gerakan emansipasi dari Kartini, wanita memang selalu di bawah bayang-bayang laki-laki, suami adalah pusat / ordinate sedangkan istri sebagai sub-ordinate. Secara budaya, Indonesia memang menganut patriakhi yaitu perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu dalam sistem sosial, hukum, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya.

 

Setiap manusia mengkonstruksikan realitas sosial dimana proses subjektif menjadi terobjektif dalam kehidupan sosial. Konstruksi merupakan hasil dari factor-faktor sosial baik structural maupun interaksional. Konstruksi tentang dunia bisa berakibat mempertahankan dan atau mengubah sejumlah pola tindakan sosial yang akhirnya akan membawa tindakan yang berbeda. Kenyataan dan pengetahuan manusia atas realitas sehari-hari terkonstruksi secara sosial. Dan sebaliknya, konstruksi sosial mempengaruhi perilaku dan tindakan sosial. Individu merupakan hasil sekaligus pencipta tatanan sosial yang ada di masyarakat karena pengalaman-pengalaman seseorang tidak dapat dipisahkan oleh dunia sosial. Kontruksi sosial yang keliru dapat mempengaruhi bagaimana masyarakat membentuk dan merespon suatu ketahanan keluarga.

 

Konstruksi ketahanan keluarga yang terbentuk adalah dimana peran utama suami sebagai kepala keluarga dalam menjaga keutuhan keluarga terfokus kepada pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga dan peran utama istri adalah mengatur urusan rumah tangga. Konstruksi dalam RUU Ketahanan Keluarga ini menggambarkan bahwa konstruksi perempuan dan laki-laki di Indonesia, masih belum banyak berubah sejak dari sejarah masa lalu sampai dengan realitas masa kini. Tugas kita semua untuk menyadarkan, mengedukasi dan merombak suatu konstruksi sosial yang keliru untuk masa depan yang lebih baik.

 

Ajaran Gereja Katolik terhadap keutuhan dan keharmonisan keluarga sangatlah penting dalam  pembentukan ketahanan keluarga. Keluarga harus dibangun atas pondasi yang kokoh. Ponadsi tersebut adalah iman akan Firman Tuhan dan perbuatan kita (Mat 7:24-27). Keluarga merupakan sekolah kehidupan kristiani, kemanusiaan dan pendidikan iman bagi setiap anggotanya. Keluarga sebagai Gereja kecil dan meneladani keluarga kudus Nazareth. Bapa Yosef dan Bunda Maria sebagai orangtua mempersiapkan Yesus dalam lingkungan yang diwarnai kasih, ketaaatan dan kebijaksanaan (Luk 2:52).

Paus Benediktus mengajak keluarga-keluarga merefleksikan tugas perutusannya sebagai pendidik nilai kemanusiaan dan iman dengan terus meneladani Keluarga Kudus, pelindung keluarga kristiani. Paus mengajak orangtua untuk tidak lalai untuk mengambil peran utama dalam keluarga, yaitu menampakkan kasih Allah dan mendidik anak-anak agar mengenal dan mengasihi Allah juga sesama.**

Penulis,pegiat pendidikan dan trainer, umat Paroki Sunter

Posting Komentar

0 Komentar