(Sumber inspirasi: Matius 19:3-12)
Berbicara tentang perkawinan, tidak terlepas
dari problematika yang terus mewarnai perjalanan hidup berkeluarga.
Permasalahan yang dihadapi oleh suami-istri dalam membangun rumah tangga,
menjadi sebuah warna dasar kehidupan yang terus memancar dan jika permasalahan
itu dikelola secara baik maka akan menghasilkan bangunan keluarga yang kokoh.
Banyak orang mengibaratkan rumah tangga itu sebagai “bahtera” yang terus
berlayar dan dalam proses pelayaran itu, pasti menjumpai terjangan ombak dan
badai. Ketika berhadapan dengan terjangan ombak dan badai yang mengganas,
nahkoda bahtera berusaha untuk menghadapi badai itu. Seorang nahkoda yang
handal adalah dia yang pernah merasakan badai lautan lepas. Tanpa adanya badai,
maka tak pernah menghasilkan nahkoda yang handal.
Kisah perjalanan hidup seorang anak manusia
dimulai dari keluarga. Keluarga yang bertahan dari amukan badai kehidupan akan
menghasilkan manusia yang tangguh. Pengalaman hidup dalam keluarga, pada
akhirnya membentuk karakter masing-masing anak. Pada zaman Yesus, kehidupan
berkeluarga juga menjadi sorotan orang-orang farisi dan ahli Taurat.
Kelompok-kelompok oposisi ini terus mengikuti pewartaan Yesus dan berusaha
menjebak Yesus dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan menohok.
“Apakah diperbolehkan orang menceraikan
isterinya dengan alasan apa saja?” Pertanyaan ini ingin menjebak Yesus agar
mereka bisa menjatuhkan-Nya. Namun Yesus menggiring kesadaran mereka untuk
melihat kembali kisah penciptaan manusia. Allah menciptakan laki-laki dan
perempuan supaya mereka saling melengkapi, keduanya menjadi satu daging. Dari
awal penciptaan manusia, Allah menghendaki supaya mereka hidup bersatu dan
tidak boleh diceraikan oleh manusia. Dalam masyarakat Yahudi waktu itu,
bersatunya laki-laki dan perempuan, benar-benar dilihat sebagai campur tangan
Allah dan tak seorang manusia pun berhak memutuskan ikatan perkawinan itu.
“Jika demikian, apakah sebabnya Musa
memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?” Yesus
menjawab secara diplomatis akan pertanyaan itu. Yesus memandang ketentuan Musa
tidak sebagai perintah melainkan izin yang disebabkan oleh sikap orang Israel
yang keras kepala. Surat cerai tidak berarti keleluasaan bagi seorang suami
untuk menceraikan istrinya, melainkan justru dimaksudkan untuk membatasi
terjadinya perceraian, sekaligus menjamin hak dan masa depan istri yang
diceraikan.
Bagaimana dengan perkawinan Katolik di masa modern ini? Gereja Katolik tetap mempertahankan sifat perkawinan Katolik yang monogam dan tidak terceraikan. Janji perkawinan di altar suci untuk setia dalam untung dan malang, menjadi sebuah tantangan dalam “merawat kesetiaan itu.” “Cinta itu manis saat baru dimulai, namun cinta itu akan tetap manis ketika cinta itu tak akan pernah berakhir.”***(Valery Kopong)
0 Komentar