Sumber: CNN |
Pada hari-hari belakangan ini, tidak hanya
cuaca yang panas membara tetapi juga suhu politik yang semakin memanas
menjelang penetapan cawapres Prabowo Subianto. Sejak gugatan ke MK terkait
batas usia minimum dan diberi ruang pada mereka yang saat ini menjabat sebagai
bupati / wali kota, boleh mengikuti kontestasi. Putusan MK ini menuai
kontroversi dan momentumnya kurang tepat dan terkesan dipaksakan. Hasil dari
putusan MK itu memuluskan jalan bagi Gibran untuk mendampingi Prabowo Subianto.
Sejak Prabowo mengumumkan nama Gibran sebagai
cawapresnya, reaksi sebagian besar orang, memberikan sentimen negatif. Bisa
dipahami bahwa dengan adanya keputusan ini, mata publik melihat dan nurani
anak-anak bangsa menilai bahwa dinasti keluarga semakin nampak. Haus kekuasaan
menjadi sebuah narasi politik dinasti saat ini. Apa yang bisa diharapkan dari
politik dinasti ini?
Hengkangnya Gibran dari PDIP memberikan isyarat
bahwa etika dalam berpolitik sudah diabaikan demi ambisi kekuasaan. Memang
menarik bahwa Gibran yang adalah anggota partai berlambang banteng itu menjadi
sorotan dan seakan menuai pujian diluar partai besutan Megawati itu. Banyak
orang memberikan respek dingin sebagai tanda kekecewaan pada keputusan, baik
keputusan MK maupun keputusan Gibran yang terkesan karbitan.
“Ambisi politik, atau keinginan untuk
mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, terlihat berkembang sebagai produk dari
investasi yang dilakukan para politisi dalam karir politik mereka, dan
investasi tersebut terbukti berhubungan dengan karakteristik struktural dari
ukuran komunitas dan daya saing pemilu.” Karakteristik politik struktural
memberikan garis ketersinggungan dengan petinggi negeri, yang tidak lain adalah
anggota keluarga. Memang sulit dibedakan bahwa arah perpolitikan keluarga didominasi
oleh ruang kepentingan Jokowi sebagai presiden saat ini. Alur politik dan hukum
yang digunakan untuk memuluskan “jalan tol” kepentingan itu sudah nampak di
depan mata kita. Ketua MK yang memberikan keputusan batas minimum usia seorang
capres maupun cawapres adalah bagian dari keluarga Jokowi.
Apa makna di balik bidak politik Jokowi ini? Bagi
penulis, ambisi kekuasaan itu bermula dari keluarga yang pada akhirnya merentang
ke tingkat puncak nasional. Banyak orang menilai keputusan yang diambil Gibran
merupakan dorongan sesaat yang datang dari partai-partai koalisi. Seorang anak
muda didorong untuk menerima mandat sebagai cawapres dan ini memberikan
gambaran akan “kematian partai” yang tidak bisa meregenerasi calon-calon
pemimpin. Apakah Golkar sebagai partai tertua kehilangan daya jual di pasaran
politik nasional?
Pemilu sebagai hajatan demokrasi lima tahunan
ini semestinya memberikan ruang pada figur-figur yang matang untuk bertarung
memperebutkan kekuasaan. Hanya sayangnya bahwa ada amputasi naluri politik pada
mereka yang memiliki peluang, namun tidak punya rekomendasi. Apakah dengan
adanya Gibran dan Prabowo dapat memuluskan jalan kemenangan? Pertanyaan ini
menggugah kesadaran publik untuk menilai resistensi masyarakat atas sebuah
keputusan yang abnormal itu. Keputusan ini, bagi penulis menjadi boomerang
karena setelah keputusan itu membawa konsekuensi bagi perjalanan karir politik.
Dalam riak-riak politik, kita bisa membaca arah pergerakan politik menjelang
Pemilu 2024 nanti. Politik, ambisi dan kekuasaan melebur jadi satu yang bisa
menyilaukan mata bagi para petarung politik. Semoga pemilu 2024 bisa memberikan harapan mesianik, harapan
yang akan menyelamatkan bangsa ini.****(Valery Kopong)
0 Komentar