Unordered List

6/recent/ticker-posts

Pemilu dan Harapan Mesianik

 

Sumber: CNN

Pada hari-hari belakangan ini, tidak hanya cuaca yang panas membara tetapi juga suhu politik yang semakin memanas menjelang penetapan cawapres Prabowo Subianto. Sejak gugatan ke MK terkait batas usia minimum dan diberi ruang pada mereka yang saat ini menjabat sebagai bupati / wali kota, boleh mengikuti kontestasi. Putusan MK ini menuai kontroversi dan momentumnya kurang tepat dan terkesan dipaksakan. Hasil dari putusan MK itu memuluskan jalan bagi Gibran untuk mendampingi Prabowo Subianto.

Sejak Prabowo mengumumkan nama Gibran sebagai cawapresnya, reaksi sebagian besar orang, memberikan sentimen negatif. Bisa dipahami bahwa dengan adanya keputusan ini, mata publik melihat dan nurani anak-anak bangsa menilai bahwa dinasti keluarga semakin nampak. Haus kekuasaan menjadi sebuah narasi politik dinasti saat ini. Apa yang bisa diharapkan dari politik dinasti ini?

Hengkangnya Gibran dari PDIP memberikan isyarat bahwa etika dalam berpolitik sudah diabaikan demi ambisi kekuasaan. Memang menarik bahwa Gibran yang adalah anggota partai berlambang banteng itu menjadi sorotan dan seakan menuai pujian diluar partai besutan Megawati itu. Banyak orang memberikan respek dingin sebagai tanda kekecewaan pada keputusan, baik keputusan MK maupun keputusan Gibran yang terkesan karbitan.

“Ambisi politik, atau keinginan untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, terlihat berkembang sebagai produk dari investasi yang dilakukan para politisi dalam karir politik mereka, dan investasi tersebut terbukti berhubungan dengan karakteristik struktural dari ukuran komunitas dan daya saing pemilu.” Karakteristik politik struktural memberikan garis ketersinggungan dengan petinggi negeri, yang tidak lain adalah anggota keluarga. Memang sulit dibedakan bahwa arah perpolitikan keluarga didominasi oleh ruang kepentingan Jokowi sebagai presiden saat ini. Alur politik dan hukum yang digunakan untuk memuluskan “jalan tol” kepentingan itu sudah nampak di depan mata kita. Ketua MK yang memberikan keputusan batas minimum usia seorang capres maupun cawapres adalah bagian dari keluarga Jokowi.

Apa makna di balik bidak politik Jokowi ini? Bagi penulis, ambisi kekuasaan itu bermula dari keluarga yang pada akhirnya merentang ke tingkat puncak nasional. Banyak orang menilai keputusan yang diambil Gibran merupakan dorongan sesaat yang datang dari partai-partai koalisi. Seorang anak muda didorong untuk menerima mandat sebagai cawapres dan ini memberikan gambaran akan “kematian partai” yang tidak bisa meregenerasi calon-calon pemimpin. Apakah Golkar sebagai partai tertua kehilangan daya jual di pasaran politik nasional?  

Pemilu sebagai hajatan demokrasi lima tahunan ini semestinya memberikan ruang pada figur-figur yang matang untuk bertarung memperebutkan kekuasaan. Hanya sayangnya bahwa ada amputasi naluri politik pada mereka yang memiliki peluang, namun tidak punya rekomendasi. Apakah dengan adanya Gibran dan Prabowo dapat memuluskan jalan kemenangan? Pertanyaan ini menggugah kesadaran publik untuk menilai resistensi masyarakat atas sebuah keputusan yang abnormal itu. Keputusan ini, bagi penulis menjadi boomerang karena setelah keputusan itu membawa konsekuensi bagi perjalanan karir politik. Dalam riak-riak politik, kita bisa membaca arah pergerakan politik menjelang Pemilu 2024 nanti. Politik, ambisi dan kekuasaan melebur jadi satu yang bisa menyilaukan mata bagi para petarung politik. Semoga pemilu  2024 bisa memberikan harapan mesianik, harapan yang akan menyelamatkan bangsa ini.****(Valery Kopong)

 

Posting Komentar

0 Komentar