(Sumber Inspirasi: Lukas 17: 26-37)
Musibah yang menimpah manusia tidak sekedar
musibah tetapi melalui peristiwa itu Allah dengan cara yang berbeda menegur
manusia . Memandang musibah dari sisi manusiawi, akan mendatangkan kekecewaan
dan bahkan manusia memberontak terhadap Allah. Mengapa Allah yang menciptakan
manusia dan pada akhirnya membinasakannya dengan cara paling tragis? Pertanyaan
inilah yang terlintas dalam bayangan kita saat berhadapan dengan musibah yang
menimpah manusia.
Dalam pandangan iman Kristiani, musibah
dimaknai secara berbeda. Musibah itu datang bukan tanpa alasan tetapi justeru
karena ada ketimpangan dan kehidupan manusia yang morat-marit sehingga mengundang
murka Allah. Penginjil Lukas menggiring kesadaran kita untuk memahami peristiwa
masa lampau dengan menghadirkan sosok penting, yakni nabi Nuh. Semua manusia
mati hanyut dalam air bah tetapi Nuh dan keluarganya diselamatkan. Peristiwa
ini menunjukkan keberpihakan Allah pada orang benar yang perlu diselamatkan dan
orang yang hidupnya jauh dari kehendak Allah harus lenyap dalam air bah itu.
Allah tidak menginginkan manusia hidup
bebas tanpa arah yang jelas. Namun keinginan Allah ini tidak terwujud dengan
baik dalam kehidupan manusia, karena itu melalui peristiwa alam, seperti
musibah air bah, Allah ingin menyadarkan manusia. Dalam peristiwa yang
menggetarkan dunia itu, memperlihatkan bagaimana manusia hidup dengan
mengandalkan dirinya sendiri, tidak bergantung lagi pada Allah sebagai sang
empunya kehidupan. Membaca kisah air bah dan musibah pada umumnya, memperlihatkan dua tipe manusia. yakni pertama, “manusia yang memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya adalah
manusia yang mengandalkan dirinya sendiri, manusia sombong yang menganggap
dirinya hebat, merasa bahwa segala yang didapat adalah karena usahanya
sendiri.” Kesuksesan yang diraih oleh manusia, mengantarkannya untuk naik pada
puncak kegembiraan dan biasanya dalam kegembiraan itu, orang lupa akan Allah.
Orang-orang sukses selalu berdalih bahwa apa yang didapatkan itu semata-mata
karena usahanya sendiri. Hati manusia penuh dengan kesombongan, karena itu
Allah tidak mendapat tempat di dalam hati manusia.
Kedua, tipe manusia yang berani
kehilangan nyawanya. “… dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia
akan menyelamatkannya.” Tipe manusia seperti ini selalu mengandalkan Tuhan di
dalam hidupnya. Mengandalkan Tuhan berarti melibatkan Tuhan dalam seluruh
persoalan hidup. Apa yang dilakukan oleh manusia seperti ini dipertimbangkan
secara matang terutama bagaimana resiko spiritual yang akan menghampirinya,
jika bertindak di luar kehendak Allah sendiri.
Setiap langkah hidup manusia
berada di bawah kuasa Allah. Allah kini hadir menyata dalam diri Yesus pada
peristiwa inkarnasi. Yang menjadi persoalan adalah sejauh mana manusia
menyadari kehadiran Allah itu di dalam setiap detak langkah hidupnya. Ketika
tiba saatnya dan manusia bertanya seperti para murid: ”Di mana Tuhan?”. Yang
bisa menjawab hanyalah manusia tipe kedua yang memahami dan melakukan kehendak
Allah. Merekalah yang akan di bawa oleh Allah untuk menikmati kerahiman-Nya
yang tak berkesudahan.***(Valery
Kopong)
0 Komentar