(Sumber Inspirasi: Lukas
19:45-48)
Beberapa waktu
lalu, ketika mengikuti perayaan Ekaristi, seorang ibu bersama anak kecil yang
duduk di depanku, sepertinya mengganggu konsentrasi saya dalam mengikuti
perayaan Ekaristi. Saya mau menegur ibu dari anak kecil itu tetapi masih merasa
sungkan. Dalam hati saya mengatakan bahwa mungkin niat ibu itu baik, yakni
menenangkan anaknya dengan bermain game di handphone yang
dibawahnya dalam gereja. Apakah dengan
memberikan handphone pada anak dan memainkan game pada saat perayaan
Ekaristi merupakan sebuah cara terbaik? Keasyikan anak bermain game, justeru
membuyarkan konsentrasi umat sekitar yang tengah khusyuk dalam mengikuti
perayaan Ekaristi.
Peristiwa
sederhana di atas menunjukkan kepada kita bahwa terkadang kita salah
menempatkan diri dan bahkan rumah Tuhan yang seharusnya steril dari hal-hal
duniawi, justeru dikaburi dengan tindakan orang-orang yang tidak memahami eksistensi
rumah Tuhan. Pengalaman sederhana di atas juga mau menghantar kita untuk
memahami tindakan Yesus dalam menertibkan orang-orang yang telah
menyalahgunakan rumah ibadat sebagai tempat untuk bertransaksi. Memang para
pedagang biasanya jeli melihat peluang. Di rumah ibadah, tempat berkumpulnya
orang-orang, tidak sekedar dilihat sebagai tamu Allah saja tetapi di mata
seorang pedagang, kerumunan orang menjadi peluang bagi mereka untuk menawarkan
barang-barang dagangan.
“Rumahku adalah
rumah doa. Tetapi kalian telah menjadikannya sarang penyamun!” Inilah
penggalan kalimat yang mengungkapkan kemarahan Yesus saat berhadapan dengan
para pedagang sekitar Bait Allah. Bait Allah adalah tempat kudus dan harus
dijaga dari hal-hal yang mengotorinya. Kehadiran para pedagang dan menjadikan
area Bait Allah sebagai tempat transakti, secara implisit menggambarkan
bagaimana upaya mereka untuk membuyarkan konsentrasi orang-orang yang ingin
berjumpa dengan Allah melalui doa di
Bait Allah. Tindakan transaksional ini mengundang kemarahan Yesus karena mereka
bisa mengambil keuntungan dari kesusahan hidup sesamanya. Bait Allah sedang
disunglap menjadi “pasar” untuk mengeruk keuntungan dan mengkayakan diri
sendiri.
Kemarahan Yesus bukan tanpa alasan. Ia marah karena orang belum menyadari
eksistensi Bait Allah. Bait Allah adalah bangunan rohani yang perlu
dipertahankan dan dijaga aspek religiositasnya. Cara sederhana yang dilakukan
Yesus untuk memurnikan kembali Bait Allah adalah mengusir para pedagang untuk
keluar dari area suci itu. Bait Allah menjadi rumah Bapa, karena itu setiap
orang perlu menyadari pentingnya membangun relasi dengan Bapa dalam suasana doa
yang tenang, tanpa terganggu oleh kepentingan bisnis para pedagang.
Memaknai
kemarahan Yesus dalam terang iman, membawa kita pada pemahaman yang benar akan
Bait Allah. Bait Allah tidak dijadikan sebagai sarang penyamun. Bait Allah juga
memiliki makna simbolik, yakni tubuh kita. Bisa dibayangkan, bagaimana dengan
tubuh kita yang dikuasai oleh setan? Hidup kita pasti tidak tenang dan merasa
galau setiap waktu karena diguncang oleh kekuatan jahat. Hidup kita terasa
tenang dan merasakan kedamaian-Nya jika kita menjauhkan dan membersihkan diri
dari godaan-godaan duniawi yang menawarkan jalan pintas kesenangan sesaat. Mari
kita membersihkan tubuh dan menjernihkan hati agar Tuhan layak bersemayam dalam
diri kita. Hanya satu yang Tuhan mau, yakni keterbukaan hati yang tulus menjadi
pintu masuk untuk mengalami kerahiman Allah.***(Valery Kopong)
0 Komentar