Selama beberapa hari terakhir ini, kata “paman”
mulai dikenal luas melalui media-media sosial. Penggunaan kata “paman” sebagai
guyon anak bangsa saat ini merujuk pada ketua Mahkamah Konstitus (MK) Anwar Usman
yang bersama hakim konstitusi lain memutuskan batas usia minimum bagi seorang
cawapres. Atas peristiwa ini banyak nitizen yang membandingkan negeri Paman Sam
dan negeri Paman Anwar Usman. Dari mana asal julukan Amerika sebagai negeri Paman Sam? Ceritanya lucu
tetapi menjadi sebuah julukan yang melegenda. “Negeri Paman Sam bermula dari
seorang pedagang daging bernama Samuel Wilson. Ia bertugas mengirim daging
selama Perang Dunia di tahun 1812 untuk medan perang. Pada permukaan tong yang
menjadi wadah daging, ia beri cap yang bertuliskan U.S, yaitu United States.
Tapi, ternyata maksud tersebut salah ditangkap oleh para tentara. Tentara
justru mengira bahwa U.S adalah Uncle Sam atau Paman Sam.”
Kisah asal usul munculnya istilah Paman Sam menarik
karena seorang pedagang daging terus mensuplai daging untuk mendukung tentara
yang tengah bertempur. Peristiwa masa lampau ini bisa dianalogikan dengan
situasi Indonesia saat ini di mana membutuhkan suplai produk hukum yang bisa
meloloskan seseorang yang walaupun belum berusia 40 tahun namun sudah berpengalaman
sebagai pejabat seperti walikota / bupati untuk bisa bertarung dalam perhelatan
politik. Pertarungan politik pasti membutuhkan banyak amunisi dan modal untuk
bisa bertarung pada perhelatan demokrasi lima tahunan itu. Menganalisis
pertarungan politik untuk memenangkan Pilpres, tidak jauh berbeda dengan
pertarungan seorang tentara untuk melihat kekuatan lawan dan terus membangun strategi
baru untuk mematahkan lawan. Jika seorang tentara memenangkan sebuah
pertarungan dengan mengorbankan nyawa manusia, maka seorang politisi
memenangkan pertarungan dengan pelbagai cara dan mengorbankan suara-suara rakyat.
Dengan maju sebagai cawapres-nya Prabowo
Subianto, Ketua MK yang masih memiliki hubungan dengan Gibran harus mengebiri
aturan main supaya Gibran bisa lolos mencalonkan diri. Pamannya Gibran
memainkan skenario untuk mengubah sebuah konstelasi, walau menabrak aturan yang
telah ditetapkan. Keputusan MK yang memberi jalan tol bagi Gibran, disoroti
bahkan dibentuk Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dengan Prof.
Jimly sebagai ketuanya. Hanya sayangnya bahwa pembacaan keputusan MKMK hanya
memberi saksi berat, yakni dipecat secara tidak hormat pada ketua MK Anwar Usman.
Bagaimana dengan Gibran? Walaupun pamannya
sudah dipecat namun karena keputusan MK berkekuatan hukum dan mengikat maka
Gibran tetap saja melenggang jadi cawapresnya Prabowo. Peristiwa yang memiriskan
ini tentu menjadi proses pembelajaran anak-anak bangsa. Keputusan MK secara
hukum tidak bisa diubah namun secara etik, membawa dampak cacat moral. Bila dilihat
dari psikologi politis, kehadiran Gibran di panggung politik tidak menghipnotis
kaum muda untuk menjatuhkan pilihan padanya. Sebuah lembaga survei merilis
hasil surveinya bahwa kaum muda lebih banyak memilih pasangan Ganjar – Mahfud
karena menurut mereka, dua sosok ini sudah teruji melalui proses yang panjang
dan bukan karbitan. Usia muda untuk menjadi calon pemimpin, bukan berarti serta-merta
menarik minat para pemilih. Para pemilih Indonesia sudah cerdas, mana sosok
yang pantas untuk dipilih nanti dan mana yang belum layak. Hanya menunggu
jawaban dalam hitungan waktu.***(Valery Kopong)
0 Komentar