Unordered List

6/recent/ticker-posts

Menerima Keberagaman

 


Beberapa waktu yang lalu, bersama teman-teman, kami mengunjungi STIKES Faatir Husada di Balaraja – Kabupaten Tangerang. STIKES yang berada di tengah pemukiman warga ini terkesan unik. Mahasiswa-mahasiswi yang tergabung pada STIKES itu berasal dari latar belakang suku dan  agama yang  berbeda. Ada yang beragama Islam, Kristen Protestan dan Katolik. Kehidupan mereka di kampus itu, menurut Ketua Yayasan Faatir Husada, Bapak Bernard Beru, “membentuk Indonesia mini.” Warna keberagaman para mahasiswa jelas terlihat dan mereka sendiri bisa membangun komunikasi yang baik.

Di lembaga pendidikan ini  terus dibangun keakraban antar mahasiswa karena itu menjadi modal dasar bagi mereka untuk bisa bersentuhan langsung dengan masyarakat. Pendidikan yang sedang digeluti itu merupakan sebuah panggilan dan sekaligus tantangan bagi mereka. Mereka yang menggeluti ilmu kesehatan, pada akhirnya harus melayani orang-orang tanpa memandang dari mana seorang pasien berasal. Cara pandang holistik terus dibangun sebagai fondasi untuk “mengakarkan” pemahaman bahwa Indonesia ini “terberi” dengan nilai-nilai keberagaman. Keberagaman tidak hanya dilihat sebagai faktor pembeda saja tetapi lebih dari itu, keberagaman dimaknai sebagai kekayaan yang bisa memberi kesempatan pada setiap orang untuk menerima satu sama lain.

          Di lembaga pendidikan tinggi Faatir Husada, tidak hanya ilmu kesehatan yang dipelajari tetapi juga belajar secara alamiah dan bersikap terbuka terhadap perbedaan suku dan agama. Ketika di beberapa tempat, persoalan mengenai perbedaan itu terus diperuncing, namun di Faatir Husada, nilai-nilai keberagaman terus tumbuh dan orang-orang belajar untuk menerima satu sama lain.

          Dari sekian banyak mahasiswa, ada cukup banyak mahasiswa dari Indonesia Timur, khususnya Nusa Tenggara Timur. Mahasiswa yang berasal dari NTT hidup di asrama dan diberi kesempatan untuk belajar banyak hal, terutama kewirausahaan. Mereka diajarkan bagaimana membuat sandal sebagai bekal keahlian yang bisa membantu mereka ketika sudah selesai menyelesaikan pendidikan dan kembali mengabdi di kampung halaman. Mereka perlu berjuang dan mengembangkan bakat yang dimiliki agar bisa hidup dari hasil karya sendiri.***(Valery Kopong)

Posting Komentar

0 Komentar