Beberapa waktu yang lalu, bersama teman-teman,
kami mengunjungi STIKES Faatir Husada di Balaraja – Kabupaten Tangerang. STIKES
yang berada di tengah pemukiman warga ini terkesan unik. Mahasiswa-mahasiswi
yang tergabung pada STIKES itu berasal dari latar belakang suku dan agama yang berbeda. Ada yang beragama Islam, Kristen
Protestan dan Katolik. Kehidupan mereka di kampus itu, menurut Ketua Yayasan
Faatir Husada, Bapak Bernard Beru, “membentuk Indonesia mini.” Warna keberagaman
para mahasiswa jelas terlihat dan mereka sendiri bisa membangun komunikasi yang
baik.
Di lembaga pendidikan ini terus dibangun keakraban antar mahasiswa
karena itu menjadi modal dasar bagi mereka untuk bisa bersentuhan langsung
dengan masyarakat. Pendidikan yang sedang digeluti itu merupakan sebuah panggilan
dan sekaligus tantangan bagi mereka. Mereka yang menggeluti ilmu kesehatan,
pada akhirnya harus melayani orang-orang tanpa memandang dari mana seorang
pasien berasal. Cara pandang holistik terus dibangun sebagai fondasi untuk “mengakarkan”
pemahaman bahwa Indonesia ini “terberi” dengan nilai-nilai keberagaman. Keberagaman
tidak hanya dilihat sebagai faktor pembeda saja tetapi lebih dari itu,
keberagaman dimaknai sebagai kekayaan yang bisa memberi kesempatan pada setiap
orang untuk menerima satu sama lain.
Di lembaga pendidikan tinggi Faatir
Husada, tidak hanya ilmu kesehatan yang dipelajari tetapi juga belajar secara
alamiah dan bersikap terbuka terhadap perbedaan suku dan agama. Ketika di beberapa
tempat, persoalan mengenai perbedaan itu terus diperuncing, namun di Faatir
Husada, nilai-nilai keberagaman terus tumbuh dan orang-orang belajar untuk
menerima satu sama lain.
Dari sekian banyak mahasiswa, ada
cukup banyak mahasiswa dari Indonesia Timur, khususnya Nusa Tenggara Timur. Mahasiswa
yang berasal dari NTT hidup di asrama dan diberi kesempatan untuk belajar banyak
hal, terutama kewirausahaan. Mereka diajarkan bagaimana membuat sandal sebagai
bekal keahlian yang bisa membantu mereka ketika sudah selesai menyelesaikan
pendidikan dan kembali mengabdi di kampung halaman. Mereka perlu berjuang dan
mengembangkan bakat yang dimiliki agar bisa hidup dari hasil karya sendiri.***(Valery
Kopong)
0 Komentar