Unordered List

6/recent/ticker-posts

Teater: Menggugah Nalar Refleksi

 

Oleh: Valery Kopong*


Beberapa waktu yang lalu, Budayawan Butet sempat mengalami tekanan dari oknum tertentu dan diminta untuk menandatangani pernyataan yang berisi tentang larangan untuk tidak berbicara politik di atas panggung teater yang digelar di Taman Ismail Marzuki. Pengalaman Butet yang merasa tertekan, beliau menyatakan selamat datang orde baru. Memang, bayangan Orde Baru, rezim yang represif dan otoriter hadir kembali saat ini hanya untuk menggiring masyarakat untuk memenangkan paslon tertentu. Bagi Butet dan seniman lain, karya dan pentas seni harus bebas dari tekanan politik. Seniman bukan manusia yang dengan kebebasan terus berbicara tanpa kontrol dan kendali. Namun seniman juga memberikan fungsi kritik sosial sebagai bentuk penyadaran terhadap masyarakat.

Panggung teater adalah ruang publik, tempat para seniman menampilkan teater untuk para penonton. Bagi seorang seniman yang terlibat dalam teater, teater yang ditampilkan memiliki muatan pesan tersendiri bagi masyarakat penikmat teater. Mengapa seniman diamputasi kebebasannya untuk tidak lagi bicara soal politik di atas panggung teater? Pertanyaan ini menggugah  nalar refleksi untuk mempertanyakan tindakan represif yang dialamatkan pada Butet. Butet tidak tinggal diam, ia terus bersuara untuk menggelorakan nilai-nilai demokrasi yang sedang dipangkas untuk kepentingan politik terhadap paslon tertentu.

Peristiwa politik saat ini yang tidak baik-baik saja, seakan menghentak kesadaran publik untuk mengkawal pesta demokrasi. Perhelatan demokrasi lima tahunan itu harusnya diselenggarakan dalam suasana gembira tanpa tekanan dari kelompok mana pun. Namun pengalaman Butet sepertinya membangunkan kesadaran baru bagi publik untuk terus membuka mata terhadap arah perpolitikan saat ini. Penulis menyadari bahwa tekanan terhadap Butet dan larangan untuk tidak berbicara politik di atas panggung teater, merupakan tindakan di luar batas kewajaran di era keterbukaan saat ini. Memang, pentas teater biasanya diramu dalam kemasan yang ringan dan mudah dicernah namun memberikan kritik yang tajam. Kritik melalui pentas teater, bukan sesuatu yang baru. Ketika melawan rezim Orde Baru yang represif, banyak seniman melontarkan kritiknya melalui karya-karya seni. Wiji Thukul, seorang penyair yang melontarkan kritik melalui puisi-puisinya, kini tinggal nama dan dihilangkan tanpa jejak.     

          Memahami kepribadian Butet yang sekian lama menggeluti dunia seni, tertawa di atas panggung memperlihatkan sesuatu yang berbeda. Tertawanya Butet saat pentas di atas panggung teater merupakan tuntutan teks dan konteks yang telah diramu oleh sang penulis dan sang sutradara. Tawa yang diperlihatkan pada saat pentas teater bukan berarti tawa sesungguhnya namun tawa itu lahir sebagai bagian skenario untuk memberikan kritik. Tawa para penderita dan kaum terdepak seperti yang diupayakan Butet dapat mengurangi beban dan menjadi sebuah substitusi agar gerak perlawanan orang-orang terdepak tidak perlu harus dengan kekerasan. Tetapi sambil tertawa, para seniman dapat menyampaikan sebuah kritik. Tawa Butet yang sinis membawa sebuah kritik yang mendalam terhadap penguasa dan mereka yang selalu merancang strategi untuk mendepak orang lain dari panggung pergaulan umum.

          Dalam situasi politik menjelang Pilpres 2024, banyak orang merindukan kehadiran Butet di atas panggung teater untuk memberikan penyadaran pada masyarakat untuk tidak takut akan tekanan-tekanan politik. “Yang terpenting dalam sebuah teater adalah pengangkatan peristiwa ke atas panggung pentas dan dengan demikian ke atas kesadaran, berbagai pertentangan di dalam diri dan masyarakat yang tidak dihadirkan secara dangkal. Sebab itu kualitas sebuah teater tidak ditentukan oleh bentuk solusi yang ditawarkannya melainkan gugahan yang memungkinkannya bagi para penonton untuk menentukan sikap sendiri.” Mari kita menyongsong pesta demokrasi dengan penuh kegembiraan. Dalam bertarung pada Pilpres, setiap paslon harusnya mengantongi pertanyaan filosofis ini: “Maukah Anda menang atau kalah?” Dengan memaknai dua pertanyaan filosofis ini, kita terbentur pada pertanyaan, untuk apa dan mengapa.***

 

Posting Komentar

0 Komentar