Oleh: Valery Kopong*
Beberapa waktu yang lalu, Budayawan Butet
sempat mengalami tekanan dari oknum tertentu dan diminta untuk menandatangani
pernyataan yang berisi tentang larangan untuk tidak berbicara politik di atas
panggung teater yang digelar di Taman Ismail Marzuki. Pengalaman Butet yang
merasa tertekan, beliau menyatakan selamat datang orde baru. Memang, bayangan
Orde Baru, rezim yang represif dan otoriter hadir kembali saat ini hanya untuk
menggiring masyarakat untuk memenangkan paslon tertentu. Bagi Butet dan seniman
lain, karya dan pentas seni harus bebas dari tekanan politik. Seniman bukan
manusia yang dengan kebebasan terus berbicara tanpa kontrol dan kendali. Namun
seniman juga memberikan fungsi kritik sosial sebagai bentuk penyadaran terhadap
masyarakat.
Panggung teater adalah ruang publik,
tempat para seniman menampilkan teater untuk para penonton. Bagi seorang
seniman yang terlibat dalam teater, teater yang ditampilkan memiliki muatan
pesan tersendiri bagi masyarakat penikmat teater. Mengapa seniman diamputasi
kebebasannya untuk tidak lagi bicara soal politik di atas panggung teater?
Pertanyaan ini menggugah nalar refleksi untuk mempertanyakan tindakan
represif yang dialamatkan pada Butet. Butet tidak tinggal diam, ia terus
bersuara untuk menggelorakan nilai-nilai demokrasi yang sedang dipangkas untuk
kepentingan politik terhadap paslon tertentu.
Peristiwa politik saat ini yang
tidak baik-baik saja, seakan menghentak kesadaran publik untuk mengkawal pesta
demokrasi. Perhelatan demokrasi lima tahunan itu harusnya diselenggarakan dalam
suasana gembira tanpa tekanan dari kelompok mana pun. Namun pengalaman Butet
sepertinya membangunkan kesadaran baru bagi publik untuk terus membuka mata
terhadap arah perpolitikan saat ini. Penulis menyadari bahwa tekanan terhadap
Butet dan larangan untuk tidak berbicara politik di atas panggung teater,
merupakan tindakan di luar batas kewajaran di era keterbukaan saat ini. Memang,
pentas teater biasanya diramu dalam kemasan yang ringan dan mudah dicernah
namun memberikan kritik yang tajam. Kritik melalui pentas teater, bukan sesuatu
yang baru. Ketika melawan rezim Orde Baru yang represif, banyak seniman
melontarkan kritiknya melalui karya-karya seni. Wiji Thukul, seorang penyair
yang melontarkan kritik melalui puisi-puisinya, kini tinggal nama dan
dihilangkan tanpa jejak.
Memahami kepribadian Butet yang sekian
lama menggeluti dunia seni, tertawa di atas panggung memperlihatkan sesuatu
yang berbeda. Tertawanya Butet saat pentas di atas panggung teater merupakan
tuntutan teks dan konteks yang telah diramu oleh sang penulis dan sang
sutradara. Tawa yang diperlihatkan pada saat pentas teater bukan berarti tawa
sesungguhnya namun tawa itu lahir sebagai bagian skenario untuk memberikan
kritik. Tawa para penderita dan kaum terdepak seperti yang diupayakan Butet
dapat mengurangi beban dan menjadi sebuah substitusi agar gerak perlawanan
orang-orang terdepak tidak perlu harus dengan kekerasan. Tetapi sambil tertawa,
para seniman dapat menyampaikan sebuah kritik. Tawa Butet yang sinis membawa
sebuah kritik yang mendalam terhadap penguasa dan mereka yang selalu merancang
strategi untuk mendepak orang lain dari panggung pergaulan umum.
Dalam situasi politik menjelang
Pilpres 2024, banyak orang merindukan kehadiran Butet di atas panggung teater
untuk memberikan penyadaran pada masyarakat untuk tidak takut akan
tekanan-tekanan politik. “Yang terpenting dalam sebuah teater adalah pengangkatan
peristiwa ke atas panggung pentas dan dengan demikian ke atas kesadaran,
berbagai pertentangan di dalam diri dan masyarakat yang tidak dihadirkan secara
dangkal. Sebab itu kualitas sebuah teater tidak ditentukan oleh bentuk solusi
yang ditawarkannya melainkan gugahan yang memungkinkannya bagi para penonton
untuk menentukan sikap sendiri.” Mari kita menyongsong pesta demokrasi dengan
penuh kegembiraan. Dalam bertarung pada Pilpres, setiap paslon harusnya
mengantongi pertanyaan filosofis ini: “Maukah Anda menang atau kalah?” Dengan memaknai dua pertanyaan filosofis
ini, kita terbentur pada pertanyaan, untuk apa dan mengapa.***
0 Komentar