Pemilu telah berlalu dan kini masyarakat
menunggu hasil real count. Memang opini masyarakat sudah tergiring oleh
hitungan quick count yang memenangkan Prabowo-Gibran. Kemenangan ini masih
menjadi pertanyaan publik terkait data-data yang masuk dan ada indikasi
penggelembungan suara pada paslon tertentu. Cara-cara kotor pada pesta
demokrasi ini, sebenarnya mencederai nurani anak bangsa yang telah mengorbankan
suara-suara mereka untuk kepentingan elit.
Menyaksikan kecurangan yang masif ini
mengingatkan saya akan film “Dirty Vote.” Film ini yang walaupun kehadirannya
di masa tenang menjelang Pilpres, mengundang reaksi banyak pihak, namun
kehadirannya memberikan informasi penting tentang cara-cara curang yang sudah
dilakukan oleh penguasa dan elit politik. Kecurangan yang dilakukan secara
nyata dimulai dari Mahkamah Konstitusi yang merupakan benteng pertahanan hukum.
Apa yang bisa dilakukan oleh para elite politik bukan rancangan sesaat.
Rancangan ini tentu dilakukan dengan satu target, yakni bisa mencapai kursi
kekuasaan.
Apa yang dilakukan oleh MK, yakni mengubah
pasal yang memungkinkan seseorang menjadi capres – cawapres tidak harus berusia
40 tahun. Dengan mengubah aturan ini, memberikan karpet merah bagi Gibran,
putera sulung Jokowi untuk melenggang ke perhelatan demokrasi lima tahunan ini.
Apakah dengan pencalonan Gibran ini dianggap layak oleh publik? Masyarakat memandangnya
secara berbeda. Sebagian melihatnya sebagai cara kotor dan melampaui proses. Kematangan
politik itu tidak dibangun dalam sehari. Artinya tahapan-tahapan untuk
mengemban kepemimpinan pada basis paling bawah menuju jenjang yang lebih tinggi,
memberikan sebuah suguhan demokrasi yang matang.
Sementara itu, di sini lain, sebagian besar masyarakat
menilai dari sisi etika yang dilanggar demi sebuah kekuasaan. Gibran dari kaum
muda, namun banyak kaum muda juga tidak setuju dengan pencalonannya karena
kematangan diri dan kemampuan masih diragukan oleh publik. Namun di tengah
terpaan cara pandang yang miring ini, Gibran tetap jalan dan didukung penuh
sang ayah, yang adalah seorang presiden.***(Valery Kopong)
Bersambung.............
0 Komentar