Unordered List

6/recent/ticker-posts

Puasa, Memurnikan Diri

 


(Sumber Inspirasi: Matius 9:14-15)

Setiap agama memiliki kebiasaan untuk  berpuasa. Cara berpuasa dan tuntutannya pasti berbeda-beda antara satu agama dengan agama lain. Puasa dan pantang bukan sekedar dilaksanakan sebagai tuntutan ritualistik tetapi lebih dari itu, ada upaya untuk bermati raga dan membangun kedekatan dengan Sang Ilahi. Bila dibandingkan dengan cara berpuasa dari agama lain dengan tuntutan yang berat, maka bisa dilihat bahwa cara berpuasa dan pantang dari agama Katolik masih terbilang ringan. Apakah dengan tuntutan puasa dan pantang yang ringan ini, memungkinkan setiap orang Katolik mengikutinya secara teratur?

Pada masa pra-Paskah, setiap orang Katolik yang secara usia layak mengikuti puasa, diberi kesempatan untuk mengalami masa-masa puasa dan menjalankan pantang. Memang, tuntutan untuk berpuasa dalam Gereja Katolik, terkesan tidak ketat karena dikembalikan pada masing-masing pribadi yang melaksanakannya sehingga kurang terkontrol dengan baik. Tuntutan berpuasa dengan makan sekali dalam sehari, tidak hanya dilihat sebagai tuntutan lahiriah saja. Artinya bahwa setiap orang pasti berusaha untuk bisa sekali makan dalam sehari, namun menjadi pertanyaan adalah, apakah kita hanya berhenti pada sekali makan dalam sehari? Pertanyaan ini penting dengan melihat bahwa tindakan lahiriah dari cara berpuasa ini jika dilihat “sekedar” aktivitas dan berusaha menahan lapar maka tidak memberikan makna spiritual pada setiap kita yang menjalaninya.  

Mengurangi makan berarti menghemat pengeluaran uang makan. Pengeluaran uang makan yang seharusnya lebih tetapi dibendung oleh puasa ini maka ada yang tersisa. Untuk apa uang makan yang tersisa itu? Pada momentum ini bisa digunakan secara maksimal mungkin dengan berbagi pada orang lain. Puasa tidak hanya dimaknai sebagai asupan makan yang masuk ke dalam  tubuh, tetapi lebih dari itu ada upaya membangun budaya kasih dan sikap peduli pada mereka yang tengah mengalami kesulitan hidup. “Yesus tidak ingin puasa-pantang menjadi semangat egosentris agar orang melihat betapa sucinya kita. Namun melalui tindakan yang nyata dan sederhana kepada sesama, orang bisa melihat dan mengenal betapa baiknya Allah yang kita imani.”

Puasa yang sebenarnya adalah mengelola diri dan mengarahkan perhatian pada Allah melalui orang-orang sekitar yang membutuhkan bantuan kita. Kerahiman Allah diwujudnyatakan dalam keseharian hidup dengan menyapa mereka yang tersingkir dan bahkan mengulurkan tangan untuk membangunkan mereka yang terpuruk. Puasa dan pantang  ini  merupakan “jalan purifikasi diri” dari dosa dan membawa manfaat bagi sesama.***(Valery Kopong)

Posting Komentar

0 Komentar