“Keberadaan Dirjen Bimas Katolik di Indonesia lahir karena ada umat Katolik. Umat Katolik sebagai agama berada dalam satu wadah gerejani yang disebut sebagai Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Maka Bimas Katolik jangan merasa lebih dari KWI.”
Pernyataan Dirjen Bimas Katolik RI; yang akan menindaklanjuti kebijakan Menteri Agama dengan berkoordinasi bersama Direktorat Jenderal Bimas di lingkungan Kementerian Agama agar apa yang telah digagas oleh Menteri Agama RI berhubungan dengan perkawinan semua agama di KUA menurut hemat saya pernyataan yang tidak menghargai keberadaan KWI sebagai lembaga resmi yang diakui oleh negara untuk urusan kerohanian umat Katolik.
Pak Dirjen seharusnya paham dan bisa membedakan peran Dirjen sebagai Lembaga Negara dan peran KWI sebagai lembaga keagamaan dan kerohanian bagi seluruh umat Katolik Indonesia. Pak Dirjen sejatinya paham bahwa keberadaan Dirjen Bimas Katolik Indonesia pertama-tama adalah untuk mengurusi hak-hak sipil umat Katolik yang adalah Indonesia. Misalnya membantu proses pembangunan rumah ibadah dalam hal ini Gereja atau Kapel dan memastikan keberadaan umat Katolik dalam hal peribadatan dan sekolah aman dan jauh dari persekusi dan diskriminasi.
Masih banyak guru agama Katolik dan Katekis di seluruh Indonesia yang membutuhkan peran lebih dari Dirjen Bimas Katolik RI untuk kelayakan dan kesejahteraan hidup mereka. Masih banyak paroki dan keuskupan yang masih membutuhkan peran Dirjen Bimas Katolik untuk membantu karya-karya sosial karitatif Gereja serta pendidikan dan pendiriannya. Bukan mengurusi sakramen yang bukan menjadi kebijakan dan kewenangannya.
Dirjen Bimas Katolik seharusnya paham bahwa urusan Perkawinan bagi umat Katolik adalah satu dari tuju Sakramen yang ada didalam Gereja Katolik. Karena perkawinan adalah Sakramen maka ini menjadi kewenangan Gereja dalam hal ini KWI untuk membicarakannya. Soal bisa tidak umat Katolik menikah di KUA bukan ranah Dirjen Bimas untuk bersuara melainkan Gereja dalam hal ini KWI sebagai lembaga resmi agama Katolik di Indonesia melalui pertimbangan hukum dan pastoral yang matang dan tentu berkoordinasi dengan Takhta Suci Vatikan.
Dirjen Bimas RI seharusnya paham dan mengerti bahwa Gereja Katolik memiliki hukum sendiri (Kitab Hukum Kanonik) didalam mengatur tempat perkawinan bagi umat Katolik. Maka ketika Dirjen Bimas Katolik RI mengatakan akan berkoordinasi dengan Dirjen Bimas yang lain agar kebijakan Kemenag RI segera dilaksanakan adalah sebuah kekeliruan dan bisa dikatakan “arogan.”
Dalam Gereja Katolik sendiri sudah memiliki hukum tetap dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) yang juga mengatur tempat pelaksanakan perkawinan secara Katolik;
“Perkawinan hendaknya dirayakan di paroki tempat salah satu pihak dari mempelai memiliki domisili atau kuasi-domisili atau kediaman sebulan, atau, jika mengenai pengembara, di paroki tempat mereka sedang berada; dengan izin Ordinaris atau pastor parokinya sendiri perkawinan itu dapat dirayakan di lain tempat.” (KHK. Kan. 1115; 11118 §1-3).
Kata paroki di sini hendak menegaskan bahwa pelaksanaan perkawinan secara Katolik wajib dilaksanakan di gereja atau kapela Katolik atau tempat yang layak setelah mendapatkan ijin dari Ordinaris wilayah. Bahwa kemudian ada pelaksanaan perkawinan di tempat lain atau di agama lain yang salah satu pihaknya adalah Katolik wajib mendapatkan dispensasi canonic untuk sahnya sebuah perkawinan. Baik ijin maupun dispensasi tidak serta merta diberikan namun harus melalui proses dan keyakinan moral yang tepat dari pemberi ijin maupun dispensasi.
Yang paling penting dan mendesak untuk dibicarakan dan dilakukan oleh pak Dirjen Bimas Katolik RI adalah berkoordinasi dengan pak Menteri Agama dan Dirjen Bimas lainnya soal pencabutan SKB 2 Menteri yang selalu menjadi alat “penindas” bagi kelompok minoritas dan “pembenaran diri” bagi kelompok mayoritas daripada mengurusi tempat perkawinan.
Karena yang kami butuhkan hari ini dan kedepannya adalah kemudahan mendirikan rumah ibadah, kemudahan beribadah tanpa protes, pelarangan, penyegelan dan persekusi atas nama agama, pak Menteri!! *** Pastor / Tuan Kopong MSF
0 Komentar