Kabar suka cita, memberikan pesan penting. Orang
yang menerima kabar suka cita pasti membawa suasana senang dan bahagia. Kabar yang
dibawa itu mengubah situasi batin seseorang dan akan mendapatkan sesuatu yang
istimewa baginya. Sebagai seorang manusia biasa, Bunda Maria tentu mengalami
situasi yang menyenangkan dan sekaligus membingungkan ketika menerima kabar
suka cita itu dari Allah melalui malaikat Gabriel. Di satu sisi Bunda Maria senang
karena mendapatkan pesan penting dari Allah, namun di sisi lain, ia mengalami
kegelisahan dan bertanya tentang makna di balik “salam” itu.
Kabar suka cita itu tentu sudah lama dirancang
oleh Allah sejak kejatuhan manusia pertama dalam lembah dosa. Kejatuhan manusia
pertama itu merupakan titik awal keterputusan hubungan antara Allah dan
manusia. Allah mengambil inisiatif untuk membangun hubungan kembali dengan
mengutus Sang Putera sebagai pemulih hubungan itu. Dalam Perjanjian Lama, nabi
Yesaya meramalkan tentang kedatangan Mesias. “Sebab itu Tuhan sendirilah yang
akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda
mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan
Dia Imanuel.”
Ramalan Yesaya melampaui waktu yang berbeda. Keterpenuhan
ramalan itu berpuncak pada kelahiran Sang Putera yang dilahirkan dari rahim
Bunda Maria oleh kuasa Roh Kudus. Bunda Maria, sejak menerima kabar suka cita
mengalami sebuah pergolakan batin karena ia belum bersuami. Bagaimana mungkin
saya bisa melahirkan, sementara itu saya belum bersuami? Pertanyaan dalam ruang
kegelisahan itu bisa disibak dan diteguhkan oleh malaikat pembawa kabar suka
cita itu. Menerima kabar, menerima sebuah konsekuensi.***(Valery Kopong)
0 Komentar