JAKARTA, Gagas Indonesia Satu.com
KASUS pembubaran peribadatan kembali terjadi, kali ini menimpa Mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (UNPAM) yang melaksanakan ibadah Rosario. Video dan narasi-narasi terkait peristiwa tersebut viral di berbagai platform, baik media sosial maupun media arus utama.
Menurut informasi yang berkembang di lapangan, mahasiswa yang hendak melaksanakan peribadatan Rosario digeruduk oleh warga sekitar yang membawa senjata tajam ke lokasi penyerangan, yakni area kos di sekitar UNPAM. Kekerasan terhadap pemeluk agama berupa penggerudukan dan penganiyaan ini disebabkan oleh oknum warga sekitar yang dipicu oleh RT di wilayah tersebut. Hal ini sangat jelas memperlihatkan ekspresi mayoritarianisme yang sangat kuat dari masyarakat setempat serta Ketua RT, yang pada akhirnya bermuara pada pelanggaran hak konstitusional mahasiswa Katolik UNPAM untuk beribadah secara bebas.
Terkait peristiwa tersebut, SETARA Institute menyampaikan beberapa catatan sebagai berikut. Pertama, SETARA Institute menilai bahwa peristiwa tersebut merupakan pelanggaran atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) sekaligus cerminan dari lemahnya ekosistem toleransi di tengah tata kebinekaan Indonesia. Kasus ini mempertegas bahwa situasi pelanggaran KBB stagnan serta gangguan atas tempat ibadah dan peribadatan masih terus terjadi. Data SETARA Institute menunjukkan, dalam periode tahun 2007-2022 terdapat 573 kasus gangguan terhadap tempat ibadah dan peribadatan yang terjadi di Indonesia.
Kedua, kasus pembubaran ibadah Rosario Mahasiswa Katolik UNPAM menunjukkan bahwa intoleransi dan kebencian terus menjadi ancaman terhadap hak atas KBB yang secara konstitusional harus dijamin oleh negara dan pemerintah. Dalam kasus pembubaran rosario di Unpam, ada dua faktor utama yang mendorong pembubaran, yaitu intoleransi di kalangan masyarakat dan kegagalan elemen negara, dalam konteks ini RT/RW sebagai unsur negara di tingkat terkecil, di ranah masyarakat, untuk menjamin hak seluruh warga atas KBB.
Ketiga, upaya pihak kepolisian untuk mendamaikan para pihak tidak menghapus pidana yang terjadi. Penegakan hukum atas kasus-kasus persekusi penting untuk dilakukan, untuk mencegah perluasan persekusi dan pelanggaran KBB. Dalam pemantauan kami selama ini, lemahnya penegakan hukum yang berkenaan dengan pelanggaran KBB dan secara umum menjadikan kelompok minoritas sebagai korban.
Keempat, SETARA Institute mendorong seluruh pihak untuk menahan diri. Narasi-narasi lanjutan terkait peristiwa yang mereproduksi kebencian dan menaikkan tensi konfliktual mesti dihentikan. Para pihak diharapkan untuk melakukan upaya-upaya cooling down. SETARA Institute juga mendesak para pihak untuk menolak politisasi terkait kasus tersebut dalam rangka dinamika elektoral, khususnya terkait Pilkada pada November 2024 mendatang. Selain itu, SETARA Institute mendesak Pemerintah untuk melakukan tindakan lanjutan yang dibutuhkan, seperti penanganan korban, jaminan perlindungan hak atas KBB, dan penegakan hukum atas tindak kekerasan yang terjadi.
Kelima, dari informasi yang kami temukan di lapangan, ada semacam kebencian berdasarkan SARA. Pembubaran ini bukan hanya soal agama, tapi juga asal daerah. Tindakan semacam ini tidak dibenarkan dan tidak boleh dilakukan, termasuk dari mereka yang banyak terhadap yang sedikit, yang penduduk asli terhadap pendatang. Seluruh pihak mesti berkontribusi untuk memajukan toleransi, sebab toleransi merupakan elemen kunci dalam tata kebinekaan Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Keenam, berkenaan dengan banyaknya kasus pembubaran, persekusi, dan pelanggaran-pelanggaran lain atas KBB, agenda besar yang harus menjadi perhatian bersama yaitu membangun ekosistem toleransi di tingkat masyarakat. Ekosistem toleransi ini mesti dibangun dengan prakarsa kepemimpinan politik, yang mana walikota dan seluruh kepemimpinan politik mesti memberikan perhatian untuk agenda pemajuan toleransi.
Di samping itu, diperlukan inisiatif dan kepemimpinan birokrasi, termasuk birokrasi di tingkat Kecamatan dan RT/RW. Lebih dari itu, pembangunan ekosistem juga membutuhkan prakarsa dan kepemimpinan sosial. Seluruh elemen masyarakat terkait, baik dalam bentuk entitas resmi seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), dan Majelis-Majelis Keagamaan, maupun komunitas-komunitas sosial di berbagai bidang, seperti kebudayaan tradisional, kesenian, dan sebagainya, mesti terlibat dalam pembangunan ekosistem toleransi.[]*** Konrad Mangu
0 Komentar