By Richard, SS.CC
Kata Yesus
kepadanya: "Ibu, mengapa engkau menangis? Siapakah yang engkau cari?"
"Ibu, Mengapa Engkau Menangis?"
Pertanyaan ini menyiratkan kepedihan yang mendalam, sebuah pencarian akan makna
di balik air mata yang mengalir. Ibu, sosok yang selalu terlihat kuat di
hadapan dunia, namun siapa yang tahu akan rahasia hatinya? Di balik senyumnya
yang hangat, kadang tersembunyi luka-luka yang tak terungkapkan. Air mata
seorang ibu bisa bermacam-macam makna. Mungkin itu adalah tanda kelelahan dari
bertahun-tahun mengasuh, mungkin juga rasa takut akan masa depan anak-anaknya,
atau bahkan penyesalan akan kesalahan yang pernah dilakukan. Setiap tetes air
mata adalah suatu cerminan dari perjuangan yang tak pernah berhenti.
Namun, di balik kepedihannya, ada kekuatan yang luar biasa. Air mata seorang ibu adalah tanda kepedulian yang mendalam, kasih sayang yang tulus, dan keberanian untuk terus bertahan di tengah badai kehidupan. Meski hatinya hancur berkeping-keping, ia tetap berdiri tegak untuk melindungi dan mencintai anak-anaknya dengan segenap jiwa dan raganya.
Saat engkau melihat seorang ibu menangis, janganlah hanya menyaksikan dari kejauhan. Jadilah seseorang yang siap mendengar cerita di balik isak tangisnya. Jadilah bahu yang siap mendukungnya dalam setiap langkahnya. Dan janganlah kita lupa, di balik air mata seorang ibu, terdapat doa-doa yang tak terucapkan, harapan-harapan yang membumbung tinggi, dan cinta yang takkan pernah pudar.
Aku ingat Ibu Amor, dia hidup berpindah-pindah karena kehidupan. Awalnya dia lahir di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh pegunungan yang megah, dengan alam yang bersahaja diliputi ketenangan yang tidak dapat engkau temukan dimanapun. Ibu Amor adalah sosok yang penuh dengan kekuatan dan keberanian, tetapi juga hati yang rapuh oleh berbagai ujian hidup. Dia hidup damai dan tenang dengan anak-anaknya, namun kehidupannya berubah karena suaminya Manus meninggalkannya pergi ke kota. Iapun ikut bersama kekasih hatinya, merantau ke kota. Berat rasanya meninggalkan kampung halaman, tempat segala memori indah berawal. Perjumpaan Manus dengan kehidupan modern membawa perubahan besar dalam hidup mereka. Anak-anak bergaul dengan dunia yang penuh dengan tipu muslihat. Ibu Amor tetaplah seorang ibu yang sederhana, cintanya pada keluarga tidak berubah. Seiring waktu berjalan muncul berbagai masalah baik pekerjaan, anak-anak yang kecanduan gadget, pornografi, pengen hidup selalu mewah ala-ala artis di tiktok sementara suami terjerumus dalam lembah kelam perjudian, miras dan relasi perkawinan yang mulai tidak sehat.
Ibu Amor sempat juga masuk dalam pengaruh media social, berjam-jam scroll tiktok dan video-video teman-teman medianya, awalnya ia senang dengan itu seolah-olah untuk melarikan diri atau anggaplah hiburan untuk melepas penat karena pekerjaan yang tidak bertepi. Ia mulai juga mulai belajar menjadi konten creator, menghabiskan kuota untuk sekedar mendapatkan satu dollar dan kadang bisa lupa diri demi konten. Dunia maya memang glamour dan menjanjikan, tetapi tidak seindah yang dibayangkan.
Ibu Amor mulai berubah pola pikir, merasa bahwa harganya dirinya akan naik, ketika banyak yang follow dan like atau komen setiap postingannya. Hingga suatu waktu Ia jatuh sakit dan dalam penderitaan tidak ada satupun yang menolong selain Tuhan dan dirinya sendiri yang harus dia semangati untuk bangkit. Ia seolah bangun dari mimpi indah namun tak kunjung nyata. Ia sadar bahwa Ia harus realistis dan mencintai kehidupannya bersama keluarga yang telah dia cintai. Ibu Amor, pribadi kuat dan sekaligus rapuh. Ia menangis dalam diam dan tidak ada yang bertanya padanya:” Ibu, mengapa engkau menangis?”. Kepedihan hati akan derita kehidupan yang ditahan membuatnya berderai air mata dan bahkan dia sendiri tidak sadar mengapa air mata itu jatuh sendiri. Sedih sekali rasanya jika engkau tidak tau alasan mengapa air mata suci itu berderai. Sementa suami dan anak-anaknya kadang baik dan lebih sering berlaku jahat.
Setiap hari, Amor bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan sarapan bagi anak-anaknya, membersihkan rumah, dan kemudian pergi ke tentangga untuk bekerja sebagai tukang cuci dan setrika pakaian. Dia bekerja keras untuk memastikan mereka selalu ada makanan di atas meja. Namun, meskipun kerjanya melelahkan, tanggung jawabnya tidak berakhir di sana. Dia melakukan semua ini dengan penuh cinta, seringkali usahanya tidak dihargai. Anak-anaknya kadang-kadang mengeluh dan menganggap bahwa Ibu mereka tidak melakukan apa-apa selain tinggal di rumah.
Ia tidak pernah
kehilangan harapan dan doa menjadi kekuatannya. Dia terus berjuang dengan
gigih, menempuh jalan panjang demi menciptakan masa depan yang lebih baik bagi
anak-anaknya. Namun, terkadang beban hidup yang berat membuatnya merasa
terpukul. Suatu hari, ketika merasa terlalu lelah untuk melanjutkan kehidupan, diam-diam
dia menangis di sudut ruangan. Rani, anak sulungnya, melihat ibunya menangis
dan bertanya dengan penuh kekhawatiran, "Ibu, mengapa engkau menangis?".
Dengan hati yang berat namun penuh dengan kekuatan, ia menjawab, "Bertahan
menjadi pemenang dalam hidup ini tidak mudah, nak. Aku menangis agar Tuhan
tidak pergi dari hidupku. Dia adalah kekuatanku, pada-Nya aku mengadu, walau
jawabannya hanya kesunyian. Dan itu lebih baik daripada manusia memberi jawaban
yang seringkali menyakitkan".
Ketika mendengar
kata-kata ibunya, Rani merasa terharu. Dia menyadari betapa besar perjuangan
dan pengorbanan yang telah dilakukan ibunya demi mereka. Dari saat itu, Rani
bersumpah untuk lebih menghargai dan mendukung ibunya dalam segala hal.
Sementara adik Rani telah meninggal beberapa waktu lalu karena terlibat dalam
geng motor, ia kecelakaan saat dikejar dan meninggal karena pendarahan pada
otak. Suami Ibu Amor mungkin masih menunggu waktu yang tepat untuk Kembali seperti
dulu, menjadi seorang suami, Ayah yang penuh kasih sayang dan kehadirannya
selalu membuat nyaman bagi keluarga walau hidup pas-pasan.
Adakah Ibu lain yang menangis? Siapakah Ibu itu? Mungkin Ibu itu adalah dia…
Ibu yang
melahirkanmu dengan penuh cinta dan kadang-kadang karena ketidakmampuan dalam
mendidik melakukan apa yang menurutmu adalah kekerasan, yang mengasuhmu dengan
lembut meski tidak ada ikatan darah yang mengalir di antara kalian. Dia adalah
tiang yang kokoh, sumber ketabahan di saat dunia terasa berat. Tempat kita berlari dan merasa nyaman saat
sakit dia ada di sekitarmu. Ibu, dia yang selalu ada di sampingmu ketika malam
menjelang, menemanimu di saat kesepian menerpa. Dia yang rela berkorban tanpa pamrih,
merangkulmu dengan kasih tanpa batas. Namun, terkadang, dia sendiri terluka
oleh ulah buruk anak-anak dan suaminya. Yang hati dan jiwanya yang luhur
ternodai oleh kelakuan yang tak terduga.
Ibu itu adalah Bumi ini, surga yang kita pijak dengan rakusnya. Dia memberikan segala yang kita butuhkan, menyediakan tempat untuk kita berpijak dan tumbuh. Namun, apakah kita membalasnya dengan kebaikan? Ataukah kita mengabaikan jeritan Bumi yang terluka, tanpa peduli dengan pengekangan yang kita lakukan? Ibu, Bumi ini, mungkin juga menangis saat ini. Dan terkadang, ibu itu adalah dirimu sendiri yang menangis dalam kesunyian. Mungkin karena beban hidup yang terlalu berat, atau karena kesulitan yang tiada henti menghampiri. Tetapi di balik setiap tetes air mata, terdapat kekuatan yang menguatkan. Karena, seperti yang dikatakan Khalil Gibran, "Air mata adalah bahasa hati yang tak terungkapkan."
Di tengah sunyi waktu
yang penuh makna ketika renungan ini engkau baca, kita diajak untuk merenungi siapa sebenarnya yang
menangis saat ini. Mari kita dengarkan dengan telinga yang terbuka dan hati
yang lapang. Dan, terlebih lagi, mari kita belajar untuk menghargai dan memeluk
dengan kasih semua ibu di dunia ini, termasuk yang di dalam diri kita sendiri.
Jadilah pribadi yang penuh pengharapan dan tidak putus asa. Kata Yesus kepadanya: "Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu."
Maria Magdalena
pergi dan berkata kepada murid-murid: "Aku telah melihat Tuhan!"
Penulis, Imam asal Sumba kini romo rekan di paroki Citra Raya, Gereja Santa Odilia.
0 Komentar