Caroline Lisa Setia Wati, M.Pd Kons
Jakarta, Gagas Indonesia satu.com
SEWAKTU
kecil Elisabet Cynthia Da Silva tidak banyak melakukan komunikasi dengan orang lain baik tetangga
maupun teman-temannya. Maklum ia mengalami kesulitan bicara. Oleh karena
kesulitan itulah maka waktu itu merasa sendirian, tidak percaya diri dalam
melakukan kegiatan apapun. Namun kedua
orangtuanya selalu berusaha membimbing, mengarahkan untuk melakukan secara mandiri.
Suatu ketika
Cynthia pergi bersama dengan keluarga, kedua orangtua menghendaki Cynthia bisa bersosialisasi. Sebagai contoh, ketika
Cynthia membeli sesuatu seperti memesan makanan di warung misalnya, Cynthia mendapat tugas dari orangtua untuk melakukannya sendiri.
“Saya pergi ke
warung makan lalu memesan nasi satu, lauk ayam satu dan sayur. Pada saat
berkomunikasi dengan pelayan warung makanan mama saya selalu berada di belakang.
Maksudnya untuk membantu ketika komunikasi
dengan pelayan warung kurang jelas sehingga dijelaskan mama. Kebiasaan itu
dilakukan satu, dua dan tiga kali kemudian terbiasa,’’ kisah Cynthia saat berbicara
di depan 80-an orangtua yang memiliki Anak Berkebutuhan (ABK) di aula Paroki Hati
Kudus, Kramat, Jakarta, Sabtu ( 29 Juni 2024).
Acara seminar tentang ABK ini dilaksanakan
Fortunas (Forum Orangtua Anak Spesial), sebuah kelompok yang berada di bawah BPK PKK KAJ, terbentuk 2021 untuk menghimpun para orangtua mempunyau anak
berkebutuhan khusus.
Kegiatan ini menghadirkan Dosen Psikologi Unika Atmajaya Jakarta, Caroline Lisa Setia Wati, M.Pd, Kons. Selain dosen juga Cynthia, mahasiswi Bimbingan Konseling (BK) Atmajaya Jakarta yang sedang mengikuti magang di Bogor. Edi Pambudi, orangtua yang setia mendampingi seorang anaknya yang juga seorang ABK.
Cynthia, adalah satu dari mahasiswa Unika Jakarta yang berkebutuhan khusus, yakni tuli. Untuk mendengar ia
menggunakan alat yang dipasang di telinga sebelah kiri. Kemandirian yang ia
miliki karena pendampingan kedua orangtuanya penuh cinta dan ikhlas sehingga
Cynthia makin percaya diri melakukan pekerjaan setiap hari layaknya sebagai
orang yang bukan ABK.
Caroline
Lisa Wati, M.Pd, Kons mengatakan setiap anak adalah unik, khas yang
dikaruniakan Tuhan sangat istimewa. Maka tugas sebagai orangtua di rumah
sesungguhnya adalah yang utama dan pertama mendampingi penuh cinta. Untuk itu orangtua mesti terus
belajar, mengupgrate dirinya dalam melakukan pendampingan. “Para guru, dosen,
terapis, konselor, dan dokter hanyalah sebagai teman mereka memberikan
intevensi manakala anak itu melenceng. Maka sosok yang sesungguhnya paling
berperan adalah orangtua ABK sendiri,’’ kata Dosen Unika Atmajaya ini.
Menurutnya
sesuatu yang bisa karena biasa. Ketika Cynthia melakukan magang dengan jarak
dari Unika Jakarta ke Bogor, sebagai dosen merasa khawatir. Pada awalnya
Cynthia dengan menggunakan angkutan kereta harus diawasi, dipantau oleh teman-temannya tapi kemudian lama kelamaan
Cynthia tidak mau lagi diawasi karena merasa mampu melakukan sendiri.
Edi Pambudi,
orangtua dari ABK mengatakan sebagai pendamping orangtua pasti merasa khawatir tentang apa yang
dilakukan anak ABK. Kebiasaan anak lupa suatu hal, tidak bisa memakai pakaian
sendiri, atau kondisi lain tidak teratur saat mandi, lupa memasang kancing baju
dan seterusnya, biarkan saja dan orangtua tetap mengarahkan dan mengubah
kebiasaan itu menjadi lebih baik. Harapannya perbaikan dilakukan itu akan
mengubah kebiasaan berikutnya.
Sisca Susilo, ibu tiga anak ini memiliki anak pertama dengan IQ yang sangat terbatas. Hingga kini anak yang terlah berusia 36 tahun masih menjalani terapi. “Anak saya pertama itu guru kehidupan saya, ia mnengajarkan saya tentang kesabaran. Bagi saya Tuhan memberikan anak ini untuk menggenapi rencana indah dalam keluarga,’’ tambah umat Paroki Bojong, St Thomas Rasul, Jakarta Barat ini.
Aktivis BPK PKK KAJ ini memaknai bahwa pelayanan ini mengalir saja karena semua adalah jalan
Tuhan, diberikan untuk menggenapi rencaa hidupnya. Melalui anak ini pula Sisca
merasa imannya semakin bertumbuh.
Melalui
perjumpaan dengan para mahasiswa-mahasiswi juga orangtua para ABK, Caroluine
Lisa Wati menggarisbawahi tujuh hal penting untuk menumbuhkan kemandirian
seorang ABK. Ketujuh hal itu menerima kondisi ABK, melakukan komnikasi terbuka,
orangtua sebagai tim, pendukung utama, belajar bertumbuh, berproses, role model
dan fasilitator.
Harry
Widjaja, Kordinator Fortunas menjelaskan kegiatan bertajuk “Membangun Kemandirian ABK” ini merupakan keinginan para orangtua yang menghendaki adanya
kemampuan lebih dalam mendampingi putera dan puterinya. Semoga kegiatan ini
memberi inspirasi baik bagi seluruh peserta.
Pastor Mikhael Gabra Santrio, OFM ketika membuka kegiatan ini mengharapkan peserta memiliki pengalaman yang baik lewat kisah orang lain sehingga boleh mendapingi ABK dengan baik.
Selain seminar dimoderatori Ledys Kokoy ini juga ada pameran lukisan melibatkan kreativitas ABK dilaksanakan
selama sebulan di ruangan lain di paroki Hati Kudus Yesus Kramat. Peserta
seminar diajak melihat langsung lukisan karya ABK**
0 Komentar