Membaca kisah “manusia silver” yang dimuat pada
harian KOMPAS beberapa hari lalu, turut menggugah kesadaran dan mengusik rasa
kemanusiaan. Menjadikan diri sebagai “manusia silver” bukanlah sebuah keinginan
pribadi tetapi terpaksa dilakoni demi mempertahankan hidup. Hidup terus
berjalan dan untuk mempertahankan hidup, setiap orang harus berusaha bekerja
untuk mendapatkan uang guna membeli kebutuhan hidup. Beberapa kisah yang
diangkat oleh KOMPAS menarasikan tentang “manusia silver,” mereka sebelumnya
bekerja pada perusahaan, namun perusahaannya ditutup karena terkena imbas
pandemi ini. Mereka terkena PHK dan pada peristiwa PHK ini, mereka mengalami
pengalaman pahit, bahkan “hidup mereka terputus” secara paksa.
Walaupun terkena PHK, namun hidup terus
berjalan. Tuntutan makan dan minum berjalan secara normatif. Orang-orang
terkena PHK tidak berhenti berpikir atau bahkan kehilangan akal. Mereka terus
berkreasi di jalanan sebagai cara paling mungkin untuk mendapatkan simpati dan
belas kasih dari orang-orang sekitar. Hidup di kota metropolitan harus siap
menerima kenyataan hidup, bahwa hidup tidak hanya menawarkan keglamouran tetapi
pada titik tertentu dan di luar dugaan, keterpurukan hidup bisa menghampiri
siapa saja. Pada situasi terpuruk ini, orang-orang yang menyerah dengan
situasi, sepertinya memandang dunia sekitar tak berarti apa-apa.
Tak punya harta dan kekayaan lagi, membuat
orang jatuh terpuruk. Tetapi satu hal yang paling mungkin untuk bisa bertahan
dalam hidup adalah mereka “tidak kehilangan harapan” di tengah situasi terpuruk
itu. Bermodalkan “sisa denyut harapan” itu, orang-orang yang hidup terpuruk
harus bangkit kembali untuk berkreasi sebagai manusia silver. “Apa gunanya
hidup di bawah terik matahari abadi? Sungai-sungai mengalir ke laut tetapi laut
tidak juga menjadi penuh. Angkatan yang satu datang dan angkatan yang lain pergi
tetapi bumi tetap sama.” Bersama sang Pengkhotbah, kita mampu bertanya dalam
terang refleksi iman tentang makna terdalam dari hidup di bawah terik matahari
abadi ini.
Tetapi dalam nada harapan, setiap kita berharap
bahwa Allah tetap menuntun setiap manusia untuk menjalani hidup dengan cara
yang berbeda. Dalam keberbedaan
menjalani hidup itu, Allah menganugerahkan rahmat yang sama untuk boleh
menikmati kasih yang tak terhingga dari Allah sendiri. Mereka dijuluki sebagai
“manusia silver” dan aku manusia biasa, namun kita menjunjung langit yang sama.
Kita menikmati cahaya matahari yang sama, terpancar dari ketinggian. Allah
sedang menguji mereka sebagai manusia silver yang terpuruk hidup karena tidak
lagi mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka mencari rezeki di jalanan sebagai
ungkapan syukur atas hidup yang dianugerahkan itu. Dalam iman, saya yakin,
suatu waktu, manusia-manusia silver yang kini mengais secercah harapan itu dari
kemurahan orang, suatu waktu akan mendapatkan pekerjaan yang baik. Seperti
emas, menunjukkan kemilauannya jika disepuh dalam tanur api membara, demikian
dengan “manusia silver” sedang diuji dalam bara api kehidupan. Suatu waktu,
mereka tidak lagi dijuluki sebagai “manusia silver” tetapi “manusia emas”
setelah berhasil melewati bara api kepahitan hidup.***(Valery Kopong)
0 Komentar