Unordered List

6/recent/ticker-posts

“Manusia Silver”

 


Membaca kisah “manusia silver” yang dimuat pada harian KOMPAS beberapa hari lalu, turut menggugah kesadaran dan mengusik rasa kemanusiaan. Menjadikan diri sebagai “manusia silver” bukanlah sebuah keinginan pribadi tetapi terpaksa dilakoni demi mempertahankan hidup. Hidup terus berjalan dan untuk mempertahankan hidup, setiap orang harus berusaha bekerja untuk mendapatkan uang guna membeli kebutuhan hidup. Beberapa kisah yang diangkat oleh KOMPAS menarasikan tentang “manusia silver,” mereka sebelumnya bekerja pada perusahaan, namun perusahaannya ditutup karena terkena imbas pandemi ini. Mereka terkena PHK dan pada peristiwa PHK ini, mereka mengalami pengalaman pahit, bahkan “hidup mereka terputus” secara paksa.

Walaupun terkena PHK, namun hidup terus berjalan. Tuntutan makan dan minum berjalan secara normatif. Orang-orang terkena PHK tidak berhenti berpikir atau bahkan kehilangan akal. Mereka terus berkreasi di jalanan sebagai cara paling mungkin untuk mendapatkan simpati dan belas kasih dari orang-orang sekitar. Hidup di kota metropolitan harus siap menerima kenyataan hidup, bahwa hidup tidak hanya menawarkan keglamouran tetapi pada titik tertentu dan di luar dugaan, keterpurukan hidup bisa menghampiri siapa saja. Pada situasi terpuruk ini, orang-orang yang menyerah dengan situasi, sepertinya memandang dunia sekitar tak berarti apa-apa.

Tak punya harta dan kekayaan lagi, membuat orang jatuh terpuruk. Tetapi satu hal yang paling mungkin untuk bisa bertahan dalam hidup adalah mereka “tidak kehilangan harapan” di tengah situasi terpuruk itu. Bermodalkan “sisa denyut harapan” itu, orang-orang yang hidup terpuruk harus bangkit kembali untuk berkreasi sebagai manusia silver. “Apa gunanya hidup di bawah terik matahari abadi? Sungai-sungai mengalir ke laut tetapi laut tidak juga menjadi penuh. Angkatan yang satu datang dan angkatan yang lain pergi tetapi bumi tetap sama.” Bersama sang Pengkhotbah, kita mampu bertanya dalam terang refleksi iman tentang makna terdalam dari hidup di bawah terik matahari abadi ini.

Tetapi dalam nada harapan, setiap kita berharap bahwa Allah tetap menuntun setiap manusia untuk menjalani hidup dengan cara yang berbeda. Dalam keberbedaan  menjalani hidup itu, Allah menganugerahkan rahmat yang sama untuk boleh menikmati kasih yang tak terhingga dari Allah sendiri. Mereka dijuluki sebagai “manusia silver” dan aku manusia biasa, namun kita menjunjung langit yang sama. Kita menikmati cahaya matahari yang sama, terpancar dari ketinggian. Allah sedang menguji mereka sebagai manusia silver yang terpuruk hidup karena tidak lagi mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka mencari rezeki di jalanan sebagai ungkapan syukur atas hidup yang dianugerahkan itu. Dalam iman, saya yakin, suatu waktu, manusia-manusia silver yang kini mengais secercah harapan itu dari kemurahan orang, suatu waktu akan mendapatkan pekerjaan yang baik. Seperti emas, menunjukkan kemilauannya jika disepuh dalam tanur api membara, demikian dengan “manusia silver” sedang diuji dalam bara api kehidupan. Suatu waktu, mereka tidak lagi dijuluki sebagai “manusia silver” tetapi “manusia emas” setelah berhasil melewati bara api kepahitan hidup.***(Valery Kopong)

Posting Komentar

0 Komentar