Beberapa hari ini, setiap guru pada
masing-masing sekolah mempersiapkan diri untuk menyiapkan program dan juga kebutuhan-kebutuhan
sekolah guna menyambut tahun ajaran baru 2024-2025. Persiapan menjadi penting
karena dengan mempersiapkan program-program unggulan menjadi sebuah keharusan
yang memberikan penegasan tentang sekolah yang merancang program tersebut. Dengan
merancang program berarti siap untuk merealisasikan seluruh program yang dirancang
itu sebagai sebuah cara dalam menghidupi dunia pendidikan. Berbicara tentang
pendidikan tidak hanya berhenti pada bagaimana mengajar di ruang-ruang kelas,
namun lebih dari itu, dalam proses pendidikan, anak-anak diberi kebebasan untuk
mengekspresikan diri sebagai upaya untuk menggali potensi diri yang
dimilikinya.
Kurikulum merdeka yang sedang digaungkan oleh
para pendidik, di satu sisi seakan memberi beban baru bagi para siswa-siswi,
namun di sisi lain, memberikan ruang kemungkinan bagi siswa-siswi untuk
terlibat dalam upaya pengolahan diri dan mengolah imajinasinya secara maksimal.
Program P5 yang menunjukkan profil pelajar pancasila menjadi sebuah landasan
dasar untuk bergerak bersama dalam membentuk diri untuk mengenal kebudayaan-kebudayaan
nusantara. Budaya yang diperlihatkan merupakan hasil pergumulan dan refleksi
atas kehidupan maka setiap anak, berusaha untuk menggali potensi diri sekaligus
menghidupi kebudayaan-kebudayaan Indonesia.
Menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik dan
mengajar adalah proses memanusiakan
manusia, sehingga harus memerdekakan manusia dan segala aspek kehidupan baik
secara fisik, mental , jasmani dan rohani. Sejalan dengan pemberlakuan
kurikulum merdeka, setiap anak diberi kebebasan untuk berpikir, berekspresi dan
menemukan hal-hal baru dalam upaya pengembangkan nilai kognitif dan pengembangan
nilai-nilai umum. Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara
sangat diperlukan untuk membumikan kurikulum merdeka dan seakan dipertentangkan
dengan pemikiran John Loke, yang memandang setiap anak sebagai “tabula rasa,”
sebagai kertas kosong dan tidak tahu apa-apa.
Dua pandangan pemikir di atas, tidak
dilihat secara dikotomis namun masing-masing pemikir hidup pada zamannya. John
Loke dengan tabula rasa, ingin mendorong setiap orang untuk terlibat dan menemukan
hal-hal baru dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, setiap orang, berusaha
menuliskan pengalaman pribadi dalam dirinya sebagai “kertas kosong.” Sementara itu,
Ki Hajar Dewantara, mengajarkan tentang makna pemanusiaan dalam ruang belajar. ***(Valery
Kopong)
0 Komentar