Unordered List

6/recent/ticker-posts

Memanusiakan Manusia

 


Beberapa hari ini, setiap guru pada masing-masing sekolah mempersiapkan diri untuk menyiapkan program dan juga kebutuhan-kebutuhan sekolah guna menyambut tahun ajaran baru 2024-2025. Persiapan menjadi penting karena dengan mempersiapkan program-program unggulan menjadi sebuah keharusan yang memberikan penegasan tentang sekolah yang merancang program tersebut. Dengan merancang program berarti siap untuk merealisasikan seluruh program yang dirancang itu sebagai sebuah cara dalam menghidupi dunia pendidikan. Berbicara tentang pendidikan tidak hanya berhenti pada bagaimana mengajar di ruang-ruang kelas, namun lebih dari itu, dalam proses pendidikan, anak-anak diberi kebebasan untuk mengekspresikan diri sebagai upaya untuk menggali potensi diri yang dimilikinya.

Kurikulum merdeka yang sedang digaungkan oleh para pendidik, di satu sisi seakan memberi beban baru bagi para siswa-siswi, namun di sisi lain, memberikan ruang kemungkinan bagi siswa-siswi untuk terlibat dalam upaya pengolahan diri dan mengolah imajinasinya secara maksimal. Program P5 yang menunjukkan profil pelajar pancasila menjadi sebuah landasan dasar untuk bergerak bersama dalam membentuk diri untuk mengenal kebudayaan-kebudayaan nusantara. Budaya yang diperlihatkan merupakan hasil pergumulan dan refleksi atas kehidupan maka setiap anak, berusaha untuk menggali potensi diri sekaligus menghidupi kebudayaan-kebudayaan Indonesia.

Menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik dan mengajar  adalah proses memanusiakan manusia, sehingga harus memerdekakan manusia dan segala aspek kehidupan baik secara fisik, mental , jasmani dan rohani. Sejalan dengan pemberlakuan kurikulum merdeka, setiap anak diberi kebebasan untuk berpikir, berekspresi dan menemukan hal-hal baru dalam upaya pengembangkan nilai kognitif dan pengembangan nilai-nilai umum. Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara sangat diperlukan untuk membumikan kurikulum merdeka dan seakan dipertentangkan dengan pemikiran John Loke, yang memandang setiap anak sebagai “tabula rasa,” sebagai kertas kosong dan tidak tahu apa-apa.  

Dua pandangan pemikir di atas, tidak dilihat secara dikotomis namun masing-masing pemikir hidup pada zamannya. John Loke dengan tabula rasa, ingin mendorong setiap orang untuk terlibat dan menemukan hal-hal baru dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, setiap orang, berusaha menuliskan pengalaman pribadi dalam dirinya sebagai “kertas kosong.” Sementara itu, Ki Hajar Dewantara, mengajarkan tentang makna pemanusiaan dalam ruang belajar. ***(Valery Kopong)

 

Posting Komentar

0 Komentar