Selama 32
tahun masa pemerintahan Soeharto, Golkar menjadi kendaraan politik penguasa.
Sebagai kendaraan politik maka, sepak terjang Golkar selalu dikendalikan oleh
penguasa. Strategi politik penguasa Orde Baru, selalu memainkan peran untuk
menggusur lawan-lawan politik, terutama partai lain. Pada masa Orde Baru, hanya
ada tiga partai yang berlaga dalam setiap perhelatan demokrasi. Golkar pada
masa Orde Baru tidak menyebutkan diri sebagai sebuah partai, namun “membaptis
diri dengan nama Golongan Karya.” Penamaan Golongan Karya ini terkesan
sederhana, namun ini merupakan sebuah strategi licik dari penguasa Orde Baru
yang selalu mempertentangkan penamaan partai dan Golongan Karya.
Partai sering
dikaitkan dengan isu komunis yang muncul pada masa Soekarno. Karena itu dalam
propaganda penguasa di masa Orde Baru, cara paling mungkin menyingkirkan dua
partai lain yang dianggap sebagai pesaing adalah dengan menghembuskan partai
yang diidentikkan dengan partai komunis. Masyakarat yang pada masa itu masih
mengalami pengalaman traumatik akan peran partai komunis, seakan takut bila
memilih partai di zaman Orde Baru. Golongan Karya digaungkan sebagai simbol
perlawanan terhadap partai, yang dinilai bersinggungan makna dengan partai
komunis.
Golkar tidak
hanya memainkan narasi saja tetapi juga berusaha meraut suara dengan
memobilisasi para anggota pegawai negeri sipil dan keluarganya, yang secara
otomatis masuk menjadi anggota pemilih tetap pada setiap kali pemilu. Bisa
dibayangkan, separuh dari masyarakat Indonesia sudah disandra suaranya untuk
kemenangan Golkar pada setiap pemilu. Hajatan lima tahunan ini dianggap sebagai
rutinitas belaka karena begitu banyak kecurangan yang terjadi hanya untuk
mengunggulkan Golkar. Bagaimana dengan masyarakat Indonesia melihat kebobrokan
pemilu di masa Orde Baru? Semua hanya melihat karena apabila memberikan kritik
maka nyawa menjadi taruhan. Ketakutan-ketakutan inilah membuat masyarakat lebih
bersikap apatis, ketimbang memberikan kritik. (Valery – Seri 2....bersambung)
0 Komentar