Keruntuhan
Orde Baru juga membawa dampak pada keberlanjutan Golkar. Akbar Tandjung,
politisi senior yang berpengalaman sangat mumpuni berusaha untuk membawa Golkar
ke arah perubahan dan sesuai semangat reformasi. Penataan partai mulai
dilakukan dengan membangun ruang konsolidasi pada semua pihak yang memiliki
kepentingan dalam menghidupi Golkar. Partai Golkar yang mulai membenah diri di
awal reformasi, 1999 – saat ini, berusaha untuk mengakomodir kepentingan publik
dan menghidupkan semangat reformasi.
Namun Golkar
di mata publik, dilihat sebagai warisan Orde Baru, sebuah rezim yang dikenang
sebagai rezim yang represif dan penuh dengan korupsi. Warisan-warisan Orde Baru
yang penuh dengan persoalan ini, dianggap publik sebagai sumber yang membawa
krisis multidimensional rakyat Indonesia. “Tidak hanya itu, Golkar pun terancam
bubar karena dianggap turut melanggengkan rezim Orde Baru. Pada akhirnya,
dilakukan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) pada 9-11 Juli 1998. Saat
itu, terjadi fragmentasi politik antara kubu Edi Sudrajat dan Akbar Tandjung.
Setelah Akbar Tandjung memenangkan posisi Ketua Umum Golkar, pada akhir 1998,
Golkar mendeklarasikan diri sebagai partai politik yang mengusung semangat
reformasi. Sedangkan kubu Edi Sudrajat mendirikan partai baru dengan nama
Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) pada 15 Januari 1999. Pada Pemilu 1999,
Golkar menempati posisi kedua dengan perolehan suara 22,5 persen dan 120 kursi
di parlemen.”
Kehadiran
Golkar, di satu sisi dianggap sebagai partai yang selalu berada di bawah “ketiak
penguasa,” namun di sisi lain, kehadiran Golkar memberikan ruang pembelajaran
bagi para politisi. Tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Golkar memberikan
pendidikan politik yang berharga bagi mereka yang menentukan pilihan hidup
sebagai politisi. Lihat para politisi-politisi senior saat ini merupakan
alumnus Golkar. Sebut saja Surya Paloh, pemilik partai Nasional Demokrat
(Nasdem) merupakan pentolan Golkar. Golkar pada masa lalu, sebagai partai terbuka
dan menjadi “sekolah politik” bagi para politisi.
Namun beberapa
waktu ini, Golkar semakin banyak disoroti karena dilirik oleh penguasa saat ini
sebagai calon kendaraan setelah masa akhir kepemimpinannya. Airlangga, menurut “Bocor
Halus” Tempo dipaksa untuk melepaskan jabatan sebagai ketua umum Golkar. Dengan
berat hati, Airlangga melepaskan jabatan itu dan berusaha untuk menerima peristiwa
ini, namun publik tetap melihat mundurnya Airlangga merupakan bentuk pembegalan
partai oleh penguasa. Dalam waktu singkat, Bahlil yang dianggap sebagai orang
kepercayaan Jokowi untuk menjadi ketua umum Golkar. Seperti apa prediksi perjalanan
partai Golkar ke depan?? (Valery – Seri 3....bersambung)
0 Komentar