SEMENJAK Sri Paus Fransiskus tiba di Jakarta, para pengajar filsafat dan teologi dan kaum pemikir pada umumnya di kantong-kantong pendidikan tinggi Katolik mendapat panggung di media massa seperti koran, televisi dan media audio visual lainnya. Hal ini sangat bagus, agar apa yang direfleksikan para kaum pemikir Katolik di Indonesia mengenai ajaran-ajaran dan ajakan Sri Paus bisa diterapkan secara konsisten dan relevan di Indonesia.
Harian umum Kompas, misalnya, dengan sangat gemilang mempublikasikan sejumlah artikel dan opini para pemikir yang memperlihatkan relevansi ajaran Sri Paus tentang ekonomi hijau, ekologi, pengungsi, imigran, tenaga kerja hingga urgensi pengajaran sastra bagi peserta didik. Menurut saya, Kompas relatif berhasil mengartikulasikan semuanya.
Sementara itu, di layar kaca, sejauh pantauan saya, mungkin yang lebih berisi ada pada acara Pak Budiman Tanuredjo "Satu Meja" (The Forum) semalam yang menghadirkan Ketua STF Driyarkara, Pemikir kebinekaan, Ekonom UI dan Direktur Bappenas. Ini diskusi yang mempertemukan berbagai perspektif dalam membaca dan berusaha mengimplementasikan ajaran dan ajakan Sri Paus dalam hal mengurangi kemiskinan dan mempersempit kesenjangan.
Akan tetapi, pada rubrik-rubrik talkshow lain, rasa-rasanya kami teman-teman wartawan dalam hal ini presenters, show producers, content producers dan lain-lain belum mengoptimalkan kehadiran para pengajar filsafat dan teolog di studio untuk mengulik lebih dalam pemikiran mereka dan peluang menjadikannya sebagai rekomendasi kebijakan.
Saya menonton di dua stasiun televisi yang menghadirkan masing-masing seorang teolog dari STF Driyarkara dan teolog dari Universitas Sanata Dharma Jogja sebagai narasumber. Di studio TV pertama, sang teolog hanya ditanyai hal-hal yang remeh temeh seperti asal kata Paus, makna tema kunjungan, mengapa Paus naik kursi roda, dan lain-lain. Di studi TV yang lainnya, presenter terlalu terpaku pada tele-promter dan bertanya hanya soal orang Indonesia di Vatikan, lambaian tangan Paus, mobil Innova yang ditumpangi, dan lain-lain.
Ini autokritik untuk kami para wartawan dan pewarta, terutama seniores dan konfratres saya di berbagai stasiun televisi, khususnya yang pernah mengenyam pendidikan di seminari menengah, apalagi hingga seminari tinggi. Marilah kita menyuntikkan sedikit semangat critical thinking bagi para presenters dan rekan wartawan untuk kesempatan-kesempatan berrahmat ini. Misalnya dengan agak menantang bertanya kepada para narasumber dari kaum filsuf dan teolog Katolik Indonesia soal-soal yang lebih substansial mengenai urgensi etika terapan, kemendesakan pendidikan humaniora, dan lain-lain yang bisa direkomendasikan menjadi kebijakan dalam kehidupan bernegara.
Ini sangat penting, agar di layar media kita ada suatu interupsi kreatif atas kedangkalan cara berpikir massal, apalagi kalau kemudian media hanya dengan sengaja memelihara narasumber seperti Rocky Gerung dan Silfester Matutina, tanpa pernah memberi ruang agak banyak kepada para penawar kedalaman berpikir untuk politik dan kebijakan publik seperti--untuk sekedar menyebutkan beberapa-- Otto Gusti dari Ledalero, Bagus Laksana dari Sanata Dharma, Haryatmoko dari UI, Yustinus Prastowo dari Kemenkeu, Eko Armada Riyanto dari Widya Sasana, dan lain-lain.
Semoga berkenan! Salam (Gusti Tetiro, jurnalis Katolik)
0 Komentar