Sumber foto: www.istockphoto.com |
Ketika
bergelut dalam dunia sastra, banyak sastrawan dari generasi ke generasi bisa dijumpai
nama-namanya. Saya hanya mengenal karya-karya mereka berupa novel ataupun
puisi-puisi. Karya mereka adalah karya monumental yang tak pernah lekang oleh
waktu dan tak pernah luntur oleh zaman. Banyak sastrawan yang melahirkan buku-buku
novel bermutu yang bisa dibaca pada setiap zaman, namun sang penulisnya sudah meninggal, menghadap sang Ilahi.
Walaupun mereka sudah meninggal, namun karya-karya mereka tetap abadi dan
dibaca oleh generasi-generasi muda.
Pramoedya
Ananta Toer, salah seorang sastrawan terkenal yang gigih menyoroti situasi
sosial politik lewat karya-karya novelnya. Apa yang diperjuangkan oleh Pram melalui
karya-karyanya, merupakan suatu strategi memberikan kritik pada penguasa Orde
Baru. Pemerintahan Orde Baru yang dikenal otoritarian dan membungkam setiap
orang yang memberikan kritik, maka jalan satu-satunya adalah memberikan kritik
melalui karya-karya sastra. Pram tidak takut dengan tekanan politik karena itu
Pram sendiri pada akhirnya dibuang ke pulau Buru.
Pram
diasingkan ke Pulau Buru karena menurut pemerintah Orde Baru, ia mengambil oposisi
dengan pemerintah. “Pramoedya merupakan redaktur harian terbitan Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia
(PKI).” Orang-orang yang berkecimpung pada Lembaga Kebudayaan Rakyat, dicap
sebagai orang-orang komunis.
Tahun
1966, Pram bersama ribuan tahanan politik lainnya dipenjara di Pulau Buru
selama 13 tahun. Apakah fisiknya dipenjara dan ide-idenya juga turut dipenjara?
Sebagai seorang sastrawan, penjara dilihat sebagai “tempat hening” yang bisa
membangkitkan imajinasi dalam menulis. Di balik penjara itu, Pramoedya menghasilkan karya besar berupa
Tetralogi Pulau Buru. “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” merupakan catatan hariannya
ketika menjalani hari-hari hidup sebagai tahanan politik.***(Valery Kopong) Bersambung.....
0 Komentar