Di
mata para filsuf, menulis berarti memberikan ruang pergerakan ide, gagasan dan
bahkan mengalirkan kegairahan hidup. Dengan menulis berarti menghidupkan
kembali sebuah peristiwa, memberikan nyawa terhadap peristiwa itu. “Memberikan
nyawa” terhadap sebuah peristiwa yang telah mati dan dilupakan berarti memaknai
kembali secara baru terhadap sebuah peristiwa dan peristiwa itu hidup dalam
cerita-cerita masyarakat.
Nietzsche,
filsuf eksistensialis, memberikan pernyataan tentang menulis secara
mengejutkan, melampaui daya pikir manusia pada umumnya. Menurut filosof Nietzsche, ‘menulis dengan darah’, dengan kesadaran dan
keterlibatan demi kepentingan yang lebih besar. Secara gamblang, orang memaknai
pernyataan ini sulit dimengerti. Memahami pernyataan filsuf ini, memunculkan
banyak spekulasi terkait makna di balik pernyataan itu.
Bagaimana
orang menganalogikan menulis dengan darah? Analogi ini memberikan sebuah
gambaran tentang menulis menjadi menarik karena dalam proses menulis, berarti
seorang penulis sedang mengalirkan darah untuk menghidupi sebuah kisah. Analogi
sederhana bahwa seorang manusia yang hidup, tentu ada aliran darah secara
normatif. Dengan aliran darah secara baik maka memberikan jaminan kehidupan
bagi manusia.
Menulis,
sebuah cara untuk memberi “nyawa” dengan pemilihan diksi yang tepat dan
menarik. Kata-kata yang tepat untuk mengungkap sebuah kisah, menggiring
kesadaran pembaca untuk tetap menjiwai sebuah tulisan. Menulis dengan darah,
dengan nadi kehidupan.***(Valery Kopong) Bersambung....
0 Komentar