Melatih
diri berbicara di hadapan publik merupakan sebuah keharusan. Banyak hal yang
perlu dipersiapkan terutama membaca buku-buku sumber yang akan digunakan
sebagai referensi dalam mempersiapkan sebuah tema. Secara pribadi, penulis
sendiri biasanya diminta untuk membawakan renungan (Katolik) pada beberapa
moment, seperti doa syukur dan juga pada moment mengenang kematian. Persiapan tema
yang digunakan pada moment penting itu menjadi sebuah tuntutan agar renungan
yang saya bawakan bisa memberikan penyegaran rohani bagi umat yang hadir. Renungan
yang baik memberikan dampak pada para pendengar dan bisa menyulut kesadaran
mereka untuk memaknai hidup. Sebuah renungan yang baik tentu lahir dari sebuah
proses yang panjang.
Pengalaman
yang dialami selama ini, penulis sendiri tidak mempersiapkan renungan secara
tertulis. Harusnya setiap renungan yang akan dibawakan itu disiapkan secara
tertulis, namun secara pribadi saya tidak pernah menyiapkan secara tertulis.
Satu alasan sederhana, mengapa saya tidak membawakan renungan secara tertulis,
yakni supaya saya lebih leluasa berbicara dan tanpa harus terikat pada teks.
Walaupun tidak disiapkan secara tertulis, namun secara pribadi saya menyiapkan
inti pokok permenungan itu dengan baik. Selain itu, jika renungan-renungan saya siapkan secara tertulis maka saya tentu
tergoda untuk menggunakan renungan yang sama itu pada waktu yang berbeda.
Dengan tidak menyiapkan secara tertulis, mendorong saya secara pribadi untuk
melihat secara jeli di balik teks kitab suci yang menjadi sumber inspirasi. Kitab
suci memiliki makna yang begitu kaya, dan kekayaan itu perlu digali secara
mendalam.
Bagaimana
strategi menyiapkan renungan? Langkah
pertama mencari teks Injil yang akan digunakan sebagai sumber permenungan
berdasarkan tema. Setelah menemukan teks, saya berusaha membaca dan merenungkan
teks itu. Saya mencoba untuk menafsir teks itu agar pesan yang disampaikan oleh
Yesus bisa mengena dengan peristiwa yang dihadapi oleh umat saat ini. Kitab suci
menyajikan banyak hal ketika diperhadapkan dengan persoalan-persoalan hidup
manusia. Kitab suci sebagai pergulatan dan sekaligus mempertegas realitas hidup
yang sedang terjadi saat ini.
Memang,
tanpa inspirasi dari kitab suci, sebuah renungan itu terasa hampa, garing tanpa
makna. Permenungan dengan terinspirasi dari kitab suci, memberikan daya
magnetis dalam memaknai kehidupan dan bahkan sanggup menyeret pendengar untuk
mendekatkan diri dengan sang Sabda. Tentunya,
seni berbahasa dari seorang pembawa renungan dan pemilihan diksi yang tepat,
sanggup menarik pendengar untuk setia menyendengkan telinga dan melumat makna
renungan itu. ***(Valery Kopong)
0 Komentar