(Catatan Hari Pers Nasional dan Pesta Pancawindu SMAN I Nubatukan tahun 2024)
Perkembangan
tekhnologi informasi dewasa ini yang ditandai oleh menjamurnya media sosial,
sehingga ada suatu pernyataan, siapa
saja boleh menjadi wartawan. Setiap orang
secara bebas merekam peristiwa dan menyebarkan informasi dalam
berbagai plat form digital. Fenomena lain yaitu menjamurnya media massa
daring/on line. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian
Komunikasi dan Informatika menyebutkan, media daring mengalami
perkembangan pesat, yakni sebanyak 43.300 (2017) dan meningkat menjadi 67.100
media (2008), dengan jumlah media terverifikasi hanya sebanyak 233 media. (https://www.
antaranews.com, 15/112019). Dengan jumlah media sebanyak itu,
berapa jumlah wartawannya?
Perkembangan
dunia pers sebelumnya, hanya mengenal media konvensional yaitu koran, majalah
dan media elektronik (TV dan radio),
itu pun jumlahnya sangat terbatas. Menurut dionbata.com, dalam konteks
sejarah dunia pers di NTT, mengenal majalah
Bintang Timoer (1925), majalah Bentara
(1950-an), majalah Gelisah (1956/1957), Mingguan Pelopor (1960), Surat Kabar Mingguan Dian (1973), Kupang Post (1977), Pos Kupang
(1992), Surya Timor (1999), Surya Flores (2001), NTT Express, Sasando Pos
(1999), Radar Timor (2000), Cendana Pos (2010, Kursor (2003), Timor Express
(2003), Victory News (2012) dan beberapa media lokal lainnya yang terbit di
kota-kota kabupaten. Sekarang,
hanya beberapa media yang masih
bertahan, karena lainnya sudah gulung tikar di tengah persaingan bisnis dunia
pers. Ada satu koran lokal NTT yang cukup fenomenal adalah Surat Kabar Mingguan
Dian (SKM Dian/1973), milik Pastor SVD yang terbit di Ende, cukup eksis di NTT sampai tahun 1992,
ditandai oleh lahirnya koran harian Pos Kupang di bawah panji Kompas Gramedia
group dan beberapa media lainnya. Lalu SKM Dian pun meredup dan tidak terbit
lagi sejak tahun 2000.
Dulu,
profesi wartawan merupakan hal langka, sedikit orang terjun di dunia kuli
tinta, karena media sangat tebatas dan orang belum mengenal luas profesi
tersebut atau disebabkan oleh banyak risiko yang diterima awak media, karena
kadang pemberitaan bersifat kritikan kepada pemerintah? Apalagi dalam era orde
baru, kemerdekaan pers tidak sebebas sekarang. Salah satu wartawan SKM Dian
adalah Philipus Peten, yang sehari-hari berprofesi sebagai Guru PNS dan sempat
mengajar pada SMAN Lewoleba (SMAN 1 Nubatukan). Agak aneh, karena seorang Guru
PNS menyambi menjadi pekerja kuli tinta. Suatu hal yang sangat membanggakan dan
berisiko, namun dijalani dengan ikhlas, penuh tanggung jawab dan profesional
tanpa mengganggu profesi utama sampai masa purna bhaktinya.
Philipus Peten mengungkapkan, menjadi wartawan SKM Dian saat masih kuliah di Universitas Nusa Cedana Cabang Ende (1980). Profesi wartawan dijalani sampai tamat kuliah (1981) dan terus dilanjutkan saat menjadi guru di SMAK Kawula Karya Lewoleba untuk wilayah Lembata karena memang tak ada wartawan ketika itu. Motivasinya menjadi wartawan adalah menulis berita untuk dibaca banyak orang terutama pemerintah setempat.
Ketertarikan menjadi wartawan adalah memberitakan apapun untuk mass media supaya dibaca orang, setidaknya jadi pewarta kabar berita bagi khalayak umum. Hal ini sejalan dengan fungsi pers yaitu fungsi informatif, memberikan informasi atau berita yang diangggap berguna dan penting kepada khalayak ramai dengan cara yang sesuai dengan kaidah jurnalistik.
Pers diharapkan menyampaikan
informasi kepada masyarakat secara berimbang, adil, tidak bias. Informasi yang
diterima masyarakat bisa mengedukasi dan berkontribusi kepada kondusifitas dan
pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Pers juga berfungsi menyampaikan
program pembangunan dan hasil-hasil atau prestasi yang dicapai lalu mendapat
respon balik dari publik.
Philipus menyatakan, jaman itu kebebasan pers sangat ketat, namun tidak menciutkan nyali untuk menulis berita. Apalagi beritanya seputar kasus tertentu, Philipus tidak merasa gentar untuk mengungkapnya di media massa. Philipus berprinsip menulis apa yang benar sesuai fakta untuk diketahui banyak orang.
Banyak kasus terselubung yang berhasil dibongkar dari goresan pena dan mendapat
tanggapan positip. Yah, begitulah, sebagai fungsi kontrol sosial terhadap
pemerintah dan lembaga pelayanan publik agar memperbaiki tugas pelayanan kepada
masyarakat demi mencapai kesejahteraan masyarakat. Pers memiliki fungsi kontrol sosial untuk pengawasan, kritik dan koreksi
dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan,
menegakkan hukum serta perbaikan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum. Pers sebagai kontrol sosial merupakan penghubung antara
pemerintah dan rakyat. Pengawasan ini dilakukan pers terhadap pemerintah maupun
masyarakat.
Menjalankan tugas wartawan, banyak mengandung risiko. Namun, pribadi Philipus yang lahir 30 Mei 1956 di desa Lolok (Nisa Nulan) kecamatan Adonara Flores Timur, tidak merasa takut apabila pemberitaan dapat menyinggung perasaan orang. Pernah diancam pejabat, tetapi berita benar, maka ancaman menjadi redah. Pernah dipanggil pejabat dan melarang menulis tetapi Philipus Peten tidak menggubris ancaman itu.
Philipus yang menamatkan Sarjana di Undana Kupang (1992) menolak karena menulis berita apapun adalah hobinya dan berjanji untuk menyeleksi tulisannya. Philipus Peten adalah alumni Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Vidya Dharma Lamabunga (ditutup tahun 1973), dengan tegas mengungkapkan ancaman terhadap dirinya palingan dimutasikan ke sekolah lain, tidak mungkin dipecat karena menyadari bahwa tugas wartawan merupakan kerja sampingan untuk menyalurkan hobi, sedangkan tugas utama profesi guru tetap dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab, apalagi Kepala Sekolah mengijinkan.
Risiko profesi wartawan dan
dugaan Philipus pun terbukti. Hanya karena menulis berita selagi PNS terutama
beberapa kasus tertentu, akhirnya
dimutasikan ke beberapa sekolah. Tahun 1994 dimutasikan dari SMAN Lewoleba ke
SMAN Nagawutung, tahun 1998 mutasi ke SMAN 1 Adonara Timur dan akhirnya tahun
2000 dipindahkan ke SMA PGRI Lewoleba hingga pensiun tahun 2016.
Profesi
ganda yang dilakonkan guru dengan segala kesadaran atas profesionalitas
tanpa mengorbankan salah satunya. Pa Guru Philipus, dalam kesehariannya,
seorang pribadi yang kalem, tenang, pelit bicara, namun di ujung penanya, bisa
membuat heboh dunia media massa di kala itu. Kedua profesi itu dijalankan
serentak karena kondisi belum banyak orang
yang terjun di dunia pemburu berita dan belum ada aturan atau
undang-undang yang mengatur. Selain wartawan SKM DIAN, juga menjadi
wartawan/koresponden/ kontributor pada
Harian Umum Flores Pos, Pos Kupang dan Mingguan HIDUP serta beberapa
tabloit di NTT.
Terkait
Guru PNS yang menyambi jadi wartawan, seorang awak media yang tidak mau
disebutkan namanya menyatakan bahwa dulu
agak longgar namun sekarang ada Undang-Undang baru jadi tidak seperti itu lagi.
Sekarang tidak ada lagi PNS yang menjadi wartawan, kecuali menulis opini.
Tulisan atau berita, adalah karya jurnalistik dari seorang jurnalis.
Dewan pers sekarang sangat ketat.
Wartawan harus ikut ujian kompetensi wartawan yang tidak mudah juga. Jaman dulu
seperti SKM Dian, Hidup, pimpinan media
memberikan kartu pers hanya untuk memudahkan kerja wartawannya, sekarang media-media harus mengikuti syarat dewan pers.
Demikian
gambaran kilas balik profesi ganda yang diperankan Pa Guru Philipus Peten
selama masih aktif menjadi PNS. Suatu profesi yang dalam pandangan sekarang
agak melenceng dari aturan, namun petimbangan situasional membuat Pa Guru
melakoninya dengan segala suka dukanya. Pa Guru menikmati dengan ikhlas, walau
banyak tantangan dan ancaman yang diperoleh,
namun, tidak melunturkan tekadnya karena di ujung pena ada perjuangan
nilai-nilai kebenaran dan keadilan bagi kemanusiaan.
Untuk itu, dalam momentum pesta pancawindu-40 tahun kelahiran SMAN Lewoleba (sekarang SMAN 1 Nubatukan), perlu menampilkan sosok Pa Guru yang satu ini, sebagai motivasi dan pemantik bagi generasi di bawahnya untuk bisa bergelut di dunia pers, karena pers juga merupakan suatu profesi dan pilar demokrasi keempat yang memperjuangkan hak-hak masyarakat.***
Simon Kopong Seran
0 Komentar