(Catatan untuk yang pergi selamanya)
Dengan kepergian mama saya ini pada akhirnya, saya coba untuk
menggali apa yang diceritakan selama hidupnya di dunia ini ketika ayahnya
meninggal dunia dalam peristiwa tenggelamnya perahu yang mereka tumpangi dalam
perjalanan menuju Pulau Ambon. Di sana
mereka mengalami kecelakaan, perahu dihantam ombak dan pada akhirnya penumpang
turut tewas tenggelam, salah satunya
adalah kakek kami sendiri. Kematian
kakek ini berarti mama saya waktu itu masih kecil harus hidup dengan adiknya
dan mereka hidup di tangan keluarga om yang ada di Ongabelen.
Peristiwa tenggelamnya ayah dari mamaku yang berujung pada
kematian, berarti mereka merasa
kehilangan akan sosok seorang ayah sejak mereka kecil. Semasa hidupnya tidak
mengenal secara detail wajah ayahnya, dan bahkan meninggal pun, ayahnya tidak
punya kuburan. Kuburannya adalah lautan Banda yang ganas. Dengan peristiwa ini mereka belajar untuk tumbuh
sebagai seorang anak yan
g tangguh. Mereka
belajar untuk tumbuh sebagai seorang anak yang bertanggung jawab tentang hidup
dan pada akhirnya peristiwa ini menyentak kesadaran mereka untuk memandang
bahwa hidup ini tidaklah mudah.
Dengan kehilangan ayah mereka pada saat ketika mereka masih kecil
membuat mereka hidup dalam serba keterbatasan. Hidup tidak semudah membalik
telapak tangan. Dalam kondisi yang serba terbatas, mereka menyadari akan
masalah ekonomi yang menopang kehidupan mereka.
Apakah dengan kehilangan seorang figur ayah ini membuat mama hidup
egois? Jawabannya, tidak! Justeru dalam keterbatasan itu, mereka menyadari,
betapa banyak tangan (terutama pihak omnya di Ongabelen) yang memberikan
tumpangan untuk hidup. Kebaikan orang lain yang mereka terima semasa kecil,
memberikan pelajaran hidup untuk terus memancarkan kebaikan yang sama pada
orang lain. Seingat saya, mama bersama ibunya memelihara salah seorang anggota
keluarga yang kehilangan ibunya saat melahirkannya. Rasa empati terbangun dari
pengalaman hidup.***(Valery Kopong) Bersambung......
0 Komentar